Ratu Isabella di Balik Lenyapnya Islam di Granada

Pembantaian Umat Islam di Granada menyebabkan hampir lenyapnya Muslim di Eropa.

Reuters
Istana Alhambra, Granada, Spanyol adalah salah satu pencapaian besar arsitektur Islam.(Reuters)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam pernah mencatatkan tinta emas selama berabad-abad di Benua Eropa. Tidak hanya sekedar kuantitas penganutnya tapi juga peradaban Islam pernah menorehkan kejayaan di benua biru tersebut. Jejak kegemilangan dan warisan berharga Umat Islam masih bisa ditelusuri hingga sekarang, meskipun tidak sedikit yang telah beralihfungsi. Seperti Masjid Cordoba (Spanyol) peninggalan Dinasti Umayyah yang kini dijadikan Gereja Katedral Katolik (Catedral de Cordoba). Hal itu tidak terlepas akibat pembantaian Umat Islam yang menyebabkan hampir lenyapnya Muslim di Eropa.

Islam masuk ke Eropa pada tahun pada tahun 93 hijriah/711 masehi melalui jalur Afrika Utara di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad yang memimpin angkatan perang Islam untuk membuka Andalusia, Spanyol saat ini. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah (661-750 M) itulah, kekuasaan khilafah Islamiyyah (lembaga pemerintahan dalam Islam) meluas ke daratan Eropa dengan ditandai pembukaan (penaklukan) Kota Cordoba, Granada, dan mengalahkan kaum kaum Visigoth dengan Toledo sebagai ibu kotanya. Puncaknya, pada masa pemerintahan Abd al Rahman III (912-961 M), Umat Islam berhasil menjadikan kota Cordova sebagai pusat peradaban Islam di dunia.

Sayangnya, keyajaan ini tidak berlangsung lama, kekhilafaan Islam di Eropa, khususnya di Spanyol berangsur-angsur memudar. Awal dari kehancuran dimulai dengan naiknya Hisyam al-Mu'ayyad Billah sebagai khalifah Kordoba tahun 976 masehi ketika masih berusia 11 tahun. Sehingga secara aktul kekuasaan dikendalikan oleh para pejabat, perpecahan pun tidak terelakkan.

Di sisi lain, kerajaan Castila serta Aragon bersatu di bawah kendali Isabel dan Ferdinand. Akibatnya, Umat Islam pun terusir dari Spanyol pada 1492 masehi, dengan Granada sebagai benteng terakhirnya. Namun sebelum peradaban Islam di Eropa benar-benar padam, umat Islam terlebih dulu mengalami pembantain secara keji oleh tentara-tentara Kristen saat itu.

Penaklukan Granada oleh Castilla sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-13, dilatarbelakangi oleh kepentingan politik dan agama serta kebencian terhadap Umat Islam. Ambisi merebut Granada dari Umat Islam dikenal dengan semangat reconquista atau penaklukkan ulang.

Akhirnya Granada dapat ditaklukkan dan Sultan Muhammad As-Shaghir (Baobdil) menyerahkan kunci Istana Al-Hambra kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella pada 2 January 1492 masehi. Peristiwa itu menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Spanyol, dan Baobdil menjadi Sultan Moor (Muslim Spanyol) terakhir di Granada.

Berakhirnya kekuasaan Islam di Eropa, menjadi awal kisah kelam Umat Islam di sana. Awalnya, Raja Ferdinand menjanjikan kebebasan beragama, kaum Muslim dipersilakan mempertahankan agamanya. Sayangnya, janji tersebut hanya tipu muslihat agar Granada bisa jatuh dengan mudah ke tangan mereka.

Justru di tahun yang sama Ferdinand dan Isabella mengeluarkan Dekret Alhambra yang memerintahkan seluruh Yahudi untuk meninggalkan Spanyol. Kemudian, pasukan Kristen memasuki istana Alhambra, dan memasang bendera dan simbol kerajaan Kristen Eropa di dinding istana serta mengibarkan bendera salib.

Selanjutnya pada tahun 1502 umat Islam diberi dua opsi. Pertama, dengan suka rela memeluk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Dengan pilihan sulit tersebut banyak kaum Muslim meninggalkan Spanyol. Karena menetap di Spanyol dengan tetap memeluk agama Islam merupakan hal yang mustahil.

Namun, sebagian Muslim memilih pindah agama secara lahiriyah saja. Artinya tetap beragama Islam secara sembunyi-sembunyi. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kaum Moriscos.

Penderitaan Umat Islam pun kembali hadir kaum Moriscos dianggap sebagai sebuah ancaman, yang berujung pada peraturan yang melarang segala hal yang bernuansa Islam, pada tahun 1508-1567 masehi. Bahkan, penggunaan bahasa Arab juga dilarang, anak-anak Umat Islam dipaksa untuk menerima pendidikan dari para pendeta Kristen.

Kemudian pada tahun 1609-1614 Raja Philip III mengusir lebih dari 300.000 Umat Islam. Tetapi Philip III tidak mengizinkan anak-anak berusia di bawah 7 tahun untuk ikut. Ia tidak ingin anak-anak tumbuh menjadi seorang Muslim di kemudian hari.

Pembatain Era Modern
Di era modern pembantaian terhadap Umat Islam juga terjadi di Benua Eropa, kali peristiwa memilukan terjadi di Semenanjung Balkan. Sejak tahun 1992 hingga 1995 Umat Islam di Bosnia Bosnia-Herzegovina dibantai secara sadis oleh tentara Serbia dan tentara nasional Yugoslavia atau Jugoslavenska Narodna Armija (JNA). Puncaknya pada 11 Juli 1995 terjadi genosida terhadap ribuan muslim Bosnia yang dikenal dengan pembantaian Srebrenica (disebut juga Genosida Srebrenica). Bahkan mantan Sekjen PBB, Kofi Annan menyebut bahwa peristiwa tragedi Srebrenica merupakan pembantaian paling sadis di Eropa pasca-Perang Dunia II.

Pelaku pembantain Sebrenica adalah laskar Republik Srpska Scorpion di bawah pimpinan komandan militer Serbia Bosnia Ratko Mladic. Pembantaian Sebrenica sendiri merupakan puncak dari konflik yang mendera negara pecahan Yugoslavia tersebut sejak 1992. Ini juga adalah bagian dari rentetan turbulensi politik dan militer yang mendera Yugoslavia, uni pro-komunisme yang mewadahi delapan negara, termasuk Bosnia-Herzegovina sejak akhir PD-II. Pada 1 Maret 1992, Bosnia Herzegovina menyatakan kemerdekaannya dari Yugoslavia, tapi Serbia bersama induk semangnya, Yugoslavia tidak terima referendum tersebut.

Sebelumnya, tentara Serbia dan JNA melakukan pembantain, dan membakar rumah-rumah di wilayah Bratunac yang juga mayoritas penduduknya adalah Muslim. Setidaknya, sebanyak 1.156 warga Bratunac tewas, sementara lainnya dipaksa mengungsi ke Srebrenica, yang merupakan kota kecil yang terletak di ujung timur Bosnia-Hezergovina.

Sebenarnya sejak April 1993, kawasan Sebrenica sebagai wilayah proteksi PBB. Namun Tentara Serbia tidak mengindahkan penetapan PBB tersebut.

Hari-hari mencekam pun terjadi. Pada 4 Juni 1995, para tentara penjaga perdamaian dari PBB tidak dapat mencegah masuknya laskar Republik Srpska Scorpion di bawah komando Mladic. Pada 6 Juli, pasukan Serbia berhasil memasuki kamp-kamp pengungsian. Akibatnya secara leluasa mereka menganiaya, memperkosa, membunuh dengan kejam, tidak hanya pada laki-laki dan wanita dewasa, anak-anak pun tidak luput dari pemusnahan etnis tersebut.

Laporan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Pecahan Yugoslavia (ICTY) menyampaikan pada 11 Juli 1995 pembantaian dimulai dengan cara memisahkan laki-laki berumur 12-77 tahun. Hal ini dilakukan agar korban bisa dipisahkan dari para perempuan, orang tua, atau keluarganya. Para korban dipaksa berbaris di pinggiran lubang yang dijadikan kuburan massal, lalu ditembak satu per satu di bagian belakang kepala. Orang tua, muda, anak-anak bahkan bayi dibantai secara sadis.

Presiden Soeharto Berkunjung
Sebelum peristiwa memilukan itu, pada awal Maret 1995 menjadi hari yang bersejarah bagi hubungan dua bangsa mayoritas Muslim, Indonesia dan Bosnia-Herzegovina. Presiden RI kedua (alm) Jenderal (purn) Soeharto melakukan misi kontrak mati dengan mengunjungi Sarajevo, memberikan dukungan moril kepada Umat Islam Bosnia. Padahal dua hari sebelum, kunjungan, tanggal 11 Maret 1995 sebuah pesawat utusan PBB ditembak jatuh di atas udara Bosnia. Namun Soeharto tetap /kekeuh/ ingin mengunjungi Sarajevo, meski nyawa taruhannya.

Dalam Buku 'Pak Harto The Untold Stories' yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2011, diceritakan awalnya Panglima pasukan PBB di Bosnia tidak mengizinkan Soeharto berkunjung di Sarajevo. Namun setelah berdebat, PBB mengizinkan Soeharto terbang ke ibu kota Bosnia-Herzegovina tersebut. Syaratnya, Soeharto harus menandatangani surat pernyataan risiko. Artinya PBB tak bertanggung jawab jika suatu hal menimpa Soeharto.

Akhirnya Presiden Soeharto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina, pada 13 Maret 1995. Jumlah penumpang pesawat buatan Rusia itu hanya 15 orang yang terdiri atas seorang perempuan petugas PBB, serta 14 orang Indonesia. Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan presiden Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk dua awak media.

Dalam buku itu, Sjafrie mengaku was-was saat Soeharto menolak mengenakan helm, ia lebih memilih mengenakan peci hitam khasnya. Bahkan tidak ingin menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. "Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," jelas Sjafrie.

Saat mendarat di Sarajevo, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan. Sebenarnya, saat itu, lapangan terbang itu dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia. Meski demikian, Soeharto nampak tenang dan tidak ada rasa takut.

"Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah," tutur Sjafrie.

Rombongan Soeharto harus melewati Sniper Valley, yaitu sebuah lembah yang menjadi medan pertarungan para penembak jitu Serbia dan Bosnia-Herzegovina. Pemimpin orde baru itu, menaiki panser VAB yang sudah disediakan Pasukan PBB. Setelah sampai di Istana Presiden, keadaannya sangat memprihatinkan. Bahkan sekadar air yang mengalir pun tidak ada. Untuk mendapatkan air bersih harus diambil dengan ember. Sarajevo porak-poranda usai dikepung dan diserang Serbia.

Sementara itu, Presiden Bosnia-Herzegovina, Alija Izetbegovic menyambut hangat kedatangan rombongan Soeharto. Alija benar-benar bahagia Soeharto benar-benar berkunjung. Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Bahkan sampai bertarung nyawa.

"Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok," jawab Soeharto.

Berselang 22 tahun kemudian, pada November 2017 lalu, Pengadilan PBB menyatakan mantan komandan militer Serbia Bosnia Ratko Mladic terbukti melakukan kejahatan dan pembantaian terhadap kemanusiaan dalam pembantaian dan pembersihan etnis di perang Bosnia. Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepadanya.
Persidangan Mladic berlangsung selama 530 hari atau dalam kurun waktu lebih dari empat tahun. Setelah buron hampir 16 tahun, Mladic ditangkap di Serbia utara pada Mei 2011 dan ia mulai diadili pada tahun 2012. (Ali Mansur)

Sumber: Buku Pak Harto The Untold Stories (Mahpudi, Bakarudin, Dwitri Walyu, Donna Sita Indria, Anita Dewi Ambarsari), Dokumen ICTY, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (DR. Raghib As-Sirjani), Khazanah Republika, The Guardian.

 
Berita Terpopuler