Dari Zaman Fir'aun dan Kisah Rebutan Air Sungai Nil

Kisah rebutan air Sungai Nil

Aljazeera
Pantai Lokasi pertemuan Sungai Nil dan Laut Tengah(Aljazeera)
Red: Muhammad Subarkah

Bukan hanya pada masa Nabi Musa dan Fir’aun aliran sungai Nil menjadi rebutan. Dari abad ke adab, dari zaman ke zaman, air sungai ini menjadi hal yang sangat vital menyangkut hajat hidup orang banyak yang tinggal di negara itu. Sejak dahulu air sungai ini menjadi "nyawa" bagi negara yang dialirinya. Jadi, tak sepele atau sekadar sarana hiburan berperahu sembari menonton tari perut seperti yang kini terjadi di Kairo.

Pada masa kini seiring akan dibangunnya waduk raksasa yang bernama Renaissance, yang dibangun di Sungai Nil oleh Etiopia, hal tersebut telah memicu masalah besar bagi negara-negara yang ada di bagian wilayah Afrika Utara, bahkan kini makin meletupkan ketegangan. Tak hanya negara Etiopia dan Mesir yang dibuat ribut. Negara Sudan yang juga dilewati aliran sungai Nil ikut terperangkap dalam ketegangan itu.


Seperti dilansir dari Arab News, kisruh soal air Sungai Nil tersebut kini sudah memasuki serangkaian perkembangan baru. Hal ini terutama terkait penolakan Pemerintah Etiopia untuk mengambil bagian dalam pembicaraan 27-28 Februari di Washington, yang dimaksudkan untuk menghasilkan kesepakatan akhir dengan Mesir dan Sudan tentang pengisian dan pengoperasian bendungan Sungai Nil itu.


Menanggapi sikap Etiopia, Mesir pun telah meluncurkan diplomasi internasional yang serius untuk menopang posisinya sehubungan dengan hak air Sungai Nil. Apalagi, setelah pihak Etiopia dituduh membawa Mesir bahwa semua keputusan yang ada kini telah melewatkan putaran pembicaraan terakhir.

Akibatnya, orang Mesir marah. Pihak Amerika yang telah menyusun kesepakatan dengan masukan teknis dari Bank Dunia pun merasa kecewa.


Bagi Mesir, air Sungai Nil itu hal yang sangat serius. Negara ini mengandalkan Sungai Nil untuk memenuhi 90 persen pasokan airnya. Bahkan, Mesir pun berpendapat bahwa memiliki aliran air Sungai Nil yang stabil adalah masalah bertahan hidup di negara di mana air sesuatu yang langka.


           ****

Pada masa lalu, sebuah perjanjian pada tahun 1929 (dan yang berikutnya ditandatangani pada tahun 1959) memberi Mesir dan Sudan hak untuk hampir semua perairan Sungai Nil. Dokumen tersebut juga memberi Mesir hak veto atas proyek-proyek infrastruktur oleh negara-negara hulu yang akan mmengaruhi bagiannya dari sumber daya sungai.


Namun, hal ini berubah saat Etiopia meluncurkan konstruksi bendungan pada tahun 2011 di Sungai Nil Biru di dataran tinggi Etiopia utara. Wilayan ini sangat vital karena tempat ini merupakan asal di mana 85 persen aliran air Sungai Nil berasal.


Soal ini makin rumit karena salah satu kekhawatiran utama Mesir selanjutnya jika aliran air berkurang maka itu dapat memengaruhi debit air yang masuk ke Danau Nasser, yakni sebuah waduk yang berada lebih jauh ke hilir, di belakang Bendungan Aswan, Mesir.


Akibat kisruh itu, selama lebih dari empat tahun, perundingan tiga arah antara Mesir, Sudan, dan Etiopia mengenai pengoperasian bendungan dan mengisi waduknya sudah dilakukan. Namun, ini tidak menghasilkan kemajuan sampai AS mengambil peran sebagai mediator.


Menurut pernyataan Departemen Keuangan AS, rencana terbaru didasarkan pada tujuh tahun sebelumnya dari studi. Konsultasi teknis antara ketiga negara itu telah mampu memberikan penyelesaian semua masalah. Ini terutama soal yang beredar terkait dengan pengisian dan pengoperasian bendungan.


Pernyataan itu memang memberikan penghargaan untuk pihak Mesir, yang digambarkan mengandalkan negosiasi sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan perselisihan dan bersiap untuk mengakui kepentingan Etiopia, asalkan Etiopia mengakui kepentingan vitalnya.

Aturan itu menyatakan: "Kami juga mencatat kekhawatiran populasi hilir di Sudan dan Mesir karena pekerjaan yang belum selesai pada operasi yang aman, dan kebutuhan untuk menerapkan semua tindakan keselamatan bendungan yang diperlukan sesuai dengan standar internasional sebelum pengisian dimulai.’’ 


Bagi Mesir, posisi aturan ini penting, yakni untuk memastikan bahwa struktur bendungan yang akan dibuat Etiopoa itu—yang merupakan pembangkit listrik tenaga air terbesar di Afrika--tidak menyebabkan bahaya yang signifikan bagi negara-negara hilir Sungai Nil. Namun, soal ini tidak lolos dalam pengujian akhir dan pengisian bendungan pun tidak terjadi tanpa kesepakatan.


Belakangan, Mesir mencoba mengusulkan periode yang lebih lama dalam soal melakukan pengisian air di bendungan sungai Nil yang dibangun Ethiopia. Ini dengan tujuan agar tingkat pasokan air sungai Nil tidak turun secara dramatis, terutama pada tahap awal pengisian reservoir.

Sebab, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengisi bendungan air, maka itu semakin sedikit dampaknya pada tingkat pasokan debir air sungai Nil.


Terkait soal ini, Kementerian Luar Negeri Ethiopia juga telah mengeluarkan pernyataan yang mencerminkan kebenaran posisi negara itu pada proyek tersebut.
Dikatakannya bahwa tiga negara itu masih harus membahas masalah-masalah besar yang terkait dengan perjanjian akhir soal sungai Nil. Dia juga menegaskan bila Ethiopia berkomitmen untuk melanjutkan konsultasi dengan Mesir dan Sudan untuk mencapai kesepakatan akhir mengenai pengisian dan pengoperasian bendungan.


Namun, bagi Sudah dan Mesir, adanya pernyataan itu justru dianggap semakin memperjelas niat Ethiopia untuk mulai mengisi bendungan saat pembangunan berjalan, bahkan tanpa mencapai kesepakatan. Padahal tindakan semacam itu merupakan pelanggaran hukum internasional dan pasal  5 Deklarasi Prinsip yang mereka buat pada tahun 2015.


              ******

Dan memang aturan itu tidak berpihak pada Mesir karena selama Etiopia berhasil menggambarkan dirinya sebagai korban. Ibaratta sepatu, tiap sepatu milik Ethiopia itu selalu berada di bawah kaki yang lain.


Ethiopia lalu membantah terkait aturan geografi dan hukum sebagai sebuah  kebiasaan internasional ketika mengklaim memiliki hak mutlak atas Sungai Nil Biru karena melintasi wilayah Ethiopia. Menurutnya, itu  jelas merupakan pelanggaran hukum internasional yang menetapkan pembagian manfaat hilir secara adil pada sungai internasional, termasuk Sungai Nil. Hukum memberi Mesir pun telah posisi tawar yang kuat dalam sengketa diplomatik atau hukum.


Maka kemudian Mesir melakukan manuver diplomatik. Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi dan Presiden AS Donald Trump salin g bertelepon dan mengirimkan misi diplomatik. Mesir pun telah mengirimkan delegaso diplomatik ke negara-negara Afrika yang lain dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan mereka.


Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry, mengadakan pertemuan dengan para duta besar negara-negara Afrika di Kairo. Ia pun mencermati perkembangan terbaru dalam masalah pembangunan waduk raksasa ‘Renaissance Grand’ dan menyoroti upaya Kairo untuk mencapai kesepakatan yang adil dan  memajukan kepentingan ketiga pihak. .


Shoukry selanjutnya menjelaskan kepada utusan tentang upaya dan prestasi Mesir selama satu tahun menjabat sebagai Presidenannya  Uni Afrika dan komitmennya untuk mengejar upaya untuk mempromosikan kerja sama Afrika. Mesir juga telah mencari dukungan di Liga Arab, dengan menghadirkan rancangan resolusi yang menekankan hak-hak Kairo dan Khartoum atas perairan Sungai Nil tersebut.


Liga Arab juga telah memberikan dukungan penuh pada rancangan resolusi dan menolak tindakan sepihak oleh Ethiopia. Rancangan resolusi Mesir menyambut baik perjanjian yang disiapkan oleh pemerintah AS sebagai "perjanjian yang adil dan merata yang memenuhi kepentingan ketiga negara."


Banyak orang di Mesir berpikir bahwa tidak lagi berguna untuk tetap diam dalam menghadapi sikap pro-Ethiopia yang ‘tidak malu-malu’ dan tidak dapat dijelaskan.
Sebaliknya perbedaan dengan Sudan harus diatasi melalui dialog tingkat tinggi dan jujur, yang akan membuat pemerintah transisi Sudan sadar akan tanggung jawabnya dan tingkat kerusakan yang ditimbulkannya terkait kepentingan Mesir atas soal air sungai Nil.


Ekspresi keraguan Sudan atas rancangan resolusi Mesir mengejutkan bagi semua orang yang hadir di pertemuan Liga Arab. Beberapa peserta mengatakan, sementara kekuatan dukungan Arab untuk resolusi itu jelas, pihak Sudan, bukannya menunjukkan antusiasme, malah kemudian meminta agar nama negaranya tidak dimasukkan dalam resolusi.


Sudan berargumen bahwa resolusi itu tidak melayani kepentingannya dan bahwa Liga Arab tidak boleh diseret ke dalam masalah ini. Sudan juga menyatakan kekhawatiran tentang konfrontasi Arab-Ethiopia yang berasal dari perselisihan.


Terhadap latar belakang yang tegang ini, pemerintah Ethiopia tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengubah nadanya. Baru-baru ini malah meluncurkan putaran ketiga program penggalangan dana untuk menyelesaikan pembangunan bendungan dan mengisi reservoir, meskipun tidak ada kesepakatan internasional yang telah dicapai.
Program enam bulan, yang diluncurkan oleh Presiden Ethiopia Sahle-Work Zewde, bertujuan untuk melibatkan warga dalam pembangunan bendungan.


Di tengah kehebohan di atas bendungan, tergoda untuk melupakan bahwa negara-negara yang ada diperairian sungai Nil berbagi budaya dengan fitur yang sama. Mereka pun punya takdir yang sama karena berada dalam satu satu sungai.


Maka ketiga negara itu harus ingat bahwa negosiasi adalah rute tercepat untuk mencapai solusi untuk setiap krisis.
Komunikasi langsung antara Kairo, Addis Ababa dan Khartoum bisa dibilang jaminan terbaik untuk pencegahan segala upaya oleh pihak lain untuk mengambil keuntungan dari situasi tegang. Air sungai Nil ternyata dari zaman Firaun hingga kini tetap menggiurkan.

 
Berita Terpopuler