Pemekaran Papua Bukan Solusi Persoalan Papua?

Pemekaran Papua Bukan Solusi Persoalan Papua?

Antara/Marius Wonyewun
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kanan) meninjau bangunan yang rusak akibat kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/10/2019).
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Bambang Noroyono, Jurnalis Republika

Majelis Rakyat Papua (MRP) merasa tak dihargai. Peran sebagai lembaga kultur adat yang diberikan mandat oleh negara sebagai representasi orang asli Papua, tak dilibatkan dalam rencana pemerintah pusat memekarkan Bumi Cenderawasih. Pasal 76 UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua menebalkan pemekaran mengharuskan MRP mengambil peran sebelum Jakarta mengesahkan provinsi baru di wilayah paling timur Indonesia tersebut.

Tak dilibatkan itu yang membuat Ketua MRP Timotius Murib geram. Ia menolak  rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian membentuk dua provinsi baru. “Dalam pandangan MRP sebagai wakil dari suku-suku di Papua, tentunya belum bisa melihat pemekaran ini sebagai solusi. Bahkan tidak perlu. Pemekaran bukan solusi untuk orang Papua,” ujar dia kepada Republika, pekan lalu. Timo menegaskan MRP menyesal jika pemerintah memaksakan pemekaran.

“Rakyat Papua yang akan menjadi korban. Dan yang akan menjadi tumpal pertama jika ini (pemekaran) dipaksakan. Kami akan menolak. MRP akan menolak,” tegas Timo.

Ketimbang membentuk provinsi baru, kata Timo, lebih arif Presiden Jokowi menyelesaikan akar masalah kebutuhan orang asli Papua. Yaitu soal ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.“Masalah akar rakyat Papua itu harus diselesaikan dengan peningkatan kualitas manusianya supaya mereka bisa kenyang, bisa sehat, bisa pintar. Itu dulu selesaikan, baru kita pikirkan pemekaran,” sambung dia.

Ide pemekaran baru di Papua datang dari Tim 61. Kelompok ini mendapuk diri sebagai perwakilan warga Papua. Namun tak ada satu pun di antara mereka yang mewakili MRP.  Mereka menghadap Presiden Jokowi, 10 September lalu di Istana Merdeka, Jakarta. Pemimpinnya Politikus Golkar, Abisai Rollo. Pertemuan tersebut sebetulnya dibungkus dengan misi untuk peredaman soal keamanan yang terjadi di Papua dan Papua Barat sepanjang Agustus-September. Sepanjang periode tersebut, kota-kota utama Bumi Cenderawasih dihantam kerusuhan.

Mulai dari masyarakat di Manokwari, Jayapura, Fakfak, Sorong, Biak, Timika, dan kota-kota lainnya turun ke jalan, menuntut pemerintah mengadili pelaku rasialisme yang dialami mahasiswa asal Papua yang terjadi di kota-kota di Jawa. Malang, Semarang, dan terakhir di asrama Surabaya. Kedatangan Kelompok 61 ke Istana Merdeka sebetulnya bagian dari komunikasi Jakarta dan Papua dalam meredakan situasi untuk pemulihan keamanan di Papua dan Papua Barat. Namun dalam pertemuan itu Tim 61, pun meminta Presiden Jokowi memekarkan Papua ke dalam lima provinsi.

Setelah pertemuan tersebut, situasi di Papua dan Papua Barat sempat kembali kondusif. Namun kembali membara setelah kerusuhan besar terjadi di Wamena, Jayawijaya, pada 23 September. Kerusuhan di Kota Pegunungan Tengah tersebut, juga berembel dugaan rasialisme. Sebanyak 33 orang meninggal dunia dalam kerusuhan tersebut. Tragedi memilukan itu, pun memaksa 17.539 orang eksodus keluar dari Wamena. Seribu lainnya, tertahan di pengungsian dalam kota. Kerusuhan di Wamena, sampai hari ini membuat situasi di Kota Lembah Baliem itu belum kembali pulih dari kelumpuhan total.

Jokowi sepekan setelah kembali disumpah menjadi Presiden, mengunjungi Wamena pada 28 Oktober. Suara pemekaran kembali menyeruak dalam kunjungan tersebut. Saat melakukan dialog bersama warga korban kerusuhan, Ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah yang juga Bupati Lani Jaya, Befa Yigibalom menagih janji Presiden Jokowi untuk memekarkan wilayah Pegunungan Tengah menjadi provinsi sendiri. Tagih janji tersebut, dengan menyeret keberhasilan para pemimpin di Pegunungan Tengah dalam memenangkan Jokowi saat Pilpres 2019.

"Kalau ada berkat yang dibagi ke provinsi lain, maka kalau bisa jantung duluan. Jantung itu kami di Pegunungan Tengah. Suara sah seratus persen, Pak," kata Yigibalom di hadapan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi, menyanggupi. Sehari setelahnya, Mendagri Tito dari Jayapura, mengungkapkan tentang rencana pemerintah membentuk dua provinsi baru di Papua. Yakni, Papua Tengah, dan Papua Selatan. Papua Tengah meliputi wilayah-wilayah Pegunungan Tengah sampai ke timur, dan Papua Selatan meliputi wilayah tengah sampai ke kawasan pesisir tenggara, selatan Papua.

Dua usulan provinsi baru itu, sampai kini masih berada dalam wilayah Provinsi Papua. Ungkapan Tito tersebut, disambut Menko Polhukam Mahfud MD mengiyakan langkah pemekaran. Meskipun pemerintah sejak 2014 menyetop adanya pemekaran baru. Kata Mahfud, khusus Papua, moratorium pemekaran bisa dikesampingkan. Pernyataan para elite di pemerintahan itu, pun mengarah pada penguatan kepastian pembentukan Papua Selatan. Sedangkan Papua Tengah, Mendagri Tito akui, masih dalam tarik ulur dengan wilayah-wilayah yang akan bergabung dengan provinsi baru tersebut.

MRP pun kembali mengingatkan pemerintahan pusat dalam wacana pemekaran itu. Ketua Urusan Rumah Tangga MRP Dorince Meheu, menilai pemerintah pusat mengangkangi konstitusional dalam wacana pembentukan dua provinsi baru di Papua. Dorince meminta Presiden Jokowi memerintahkan kementerian terkait pemekaran berdiskusi dengan lembaga resmi adat yang didirikan negara sebagai representasi orang asli Papua. MRP sampai hari ini tak pernah dilibatkan dalam apapun pembahasan untuk ‘membelah’ Papua ke dalam tiga daerah tingkat satu.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua sebetulnya menghendaki pembagian pemerintahan di Bumi Cenderawasih ke dalam tujuh daerah tingkat satu. Rektor Universitas Cenderawasih (Uncen) Apolo Safonpo mengatakan, Gubernur Lukas Enembe sudah meminta perguruan tinggi negeri  di Jayapura itu, melakukan kajian pemekaran Tanah Papua menjadi lima provinsi di Papua, dan dua provinsi di Papua Barat. Pemekaran menjadi tujuh provinsi tersebut sesuai dengan wilayah suku adat masyarakat asli yang ada di seluruh wilayah paling timur di Indonesia itu.   

Apolo mengatakan, Uncen sudah menyiapkan tim dalam kajian tersebut sebelum pemerintah pusat mewacanakan membentuk dua provinsi baru di Papua. “Jadi kajian ini memang penting dilakukan untuk dijadikan alasan akademis dalam pemerintah mengambil keputusan nantinya. Kami di Uncen sudah menyusun tim untuk mengkaji pemekaran ini,” ujar dia saat dihubungi Republika dari Jakarta, Ahad (3/11). Apolo mengatakan, sementara ini, Uncen melihat wacana pemekaran Papua dan Papua Barat, memang diperlukan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan, dan ekonomi bagi masyarakat setempat.

Menurut Apolo, wacana pemerintah pusat memekarkan dua provinsi baru di Papua, memang mempunyai beragam pertimbangan. Baik pertimbangan untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan di daerah demi mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Pun lantaran luasnya wilayahnya saat ini, yang membutuhkan langkah strategis pengikisan geografis. Akan tetapi, menurut ia sebagai akademisi, pembentukan dua provinsi baru di Papua, memang dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan sosial.

Yang itu, hemat dia akan menjadi persoalan baru bagi masyarakat di Papua. “Mungkin saja pemerintah pusat sudah mempertimbangkan berbagai aspek. Tetapi, kalau (hanya) satu atau dua (yang dimekarkan), kita takutkan nanti ada kecemburuan sosial,” terang Apolo. Ia menambahkan, pertimbangan aspek kesatuan wilayah adat yang ada di Papua, maupun di Papua Barat perlu dijadikan dasar pertimbangan yang penting dalam pengambilan keputusan dalam rencana pemekaran.

Membagi wilayah Papua dan Papua Barat ke dalam tujuh provinsi, sebetulnya juga disarankan  oleh Ketua Bidang Rumah Tangga Majelis Rakyat Papua (MRP) Dorince Meheu. Meski ia mengaku tak dalam posisi mendukung atau menolak pemekaran Papua, namun perwakilan perempuan adat suku Tabi itu mengatakan, kurang tepat jika pemerintah membentuk provinsi baru di Bumi Cenderawasih hanya mengacu pada letak geografis dan administratif. Dorince setuju jika pemekaran serempak mengacu pada pembagian tujuh wilayah adat.

Tujuh wilayah adat tersebut antara lain, Papua Tabi, Anim Ha, Saire Ri, Me Pago, La Pago. Lima wilayah adat tersebut yang seharusnya menjadi provinsi masing-masing di Papua. Sedangkan di Papua Barat ada dua wilayahnya, Momberay, dan Domberay yang seharusnya menjadi provinsi terpisah. “Tidak ada Papua Selatan, Papua Tengah. Kalau mau dimekarkan, itu Papua Tabi, Papua Anim Ha. Itu ada lima (wilayah adat) di Papua, dan dua di Papua Barat. Kalau mau dimekarkan, itu jadi ada tujuh,” kata Dorince. Tetapi Dorince menegaskan, apapun wacana pemekaran tersebut, ia meminta, agar pemerintah pusat maupun di daerah menghormati keberadaan MRP sebagai lembaga yang mengambil keputusan dan rekomendasi terkait pemekaran.


 
Berita Terpopuler