Padi Hibdria Perlu Jadi Prioritas Pembangunan Pertanian

Rata-rata produktivitas padi hibrida mencapai 7 ton per hektare.

FOTO ANTARA/Dedhez Anggara
Seorang petani memanen benih padi di areal persawahan Desa Brondong, Pasekan, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (11/4). Petani dinilai perlu meningkatkan pemanfaatan padi hibrida yang dinilai lebih produktif.
Rep: Umar Mukhtar Red: Friska Yolanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menyatakan perluasan lahan bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas pangan nasional. Menurutnya perluasan tersebut sulit dilakukan, mengingat jumlah lahan yang bisa dipakai untuk pertanian terbatas dan jumlah penduduk terus meningkat.

Baca Juga

Galuh mengatakan, ada beberapa hal yang menyebabkan sulitnya perluasan lahan pertanian terwujud. Salah satunya adalah gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur. Industrialisasi dan pembangunan infrastruktur tidak jarang harus mengorbankan lahan pertanian.

"Perubahan lain adalah jumlah penduduk yang terus meningkat. Laju pertambahan penduduk Indonesia terjadi sangat cepat. Jumlah penduduk yang bertambah harus diikuti dengan kemampuan lahan pertanian untuk menyediakan pangan untuk mereka," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (9/10).

Galuh menambahkan, salah satu komoditas penting yang perlu dijaga ketersediaannya adalah beras. Namun beras juga menghadapi tantangan sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya. Dalam hal ini, padi hibrida bisa menjadi alternatif peningkatan produktivitas beras nasional.

"Produktivitas padi hibrida memiliki potensi besar untuk ditingkatkan. Padi hibrida memiliki produktivitas musiman rata-rata 7 ton per hektare, lebih tinggi kalau dibandingkan dengan produktivitas padi inbrida yang hanya mencapai 5,19 ton per hektare," tuturnya.

Namun, luas tanam padi hibrida hanya kurang dari satu persen dari total luas tanam padi di Indonesia dan telah mengalami stagnasi selama beberapa tahun. CIPS merekomendasikan beberapa hal terkait pengembangan padi hibrida. "Perlu memasukkan padi hibrida ke dalam prioritas perencanaan pembangunan pertanian," ungkapnya.

Padi hibrida, lanjut Galuh, memang belum dimasukkan ke dalam program utama terkait perencanaan pembangunan pertanian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dia menilai, alasan kurangnya prioritas ini kemungkinan karena statistik kuantitas produksi beras nasional di Indonesia telah lama dibesar-besarkan.

"Baru belakangan data ini dikoreksi menggunakan metode Kerangka Sampel Area. Dengan statistik resmi yang menunjukkan tingkat produksi beras yang mencukupi, pembuat kebijakan tidak terdorong untuk berfokus pada peningkatan produktivitas," ujarnya.

Hal itulah yang menurut Galuh mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pengembangan padi hibrida. "Karena itu tidak mengherankan bahwa pemerintah tidak memiliki program yang signifikan untuk meningkatkan penerimaan padi hibrida oleh petani," tuturnya.

Selain itu, Galuh mengungkapkan, pemerintah seharusnya meningkatkan kapasitas petani dengan mengadakan pelatihan dan memberi penyuluhan dan bimbingan. Penyuluhan yang diperlukan yakni soal penggunaan alat-alat pertanian yang lebih efisien dan pembaharuan metode tanam. "Petani perlu diberi akses permodalan yang skema pembayarannya ramah terhadap kegiatan bercocok tanam," kata Galuh.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 2003 hingga 2013, terdapat 16 persen penurunan jumlah rumah tangga yang memiliki lahan. Mereka berpotensi menjadi buruh tani yang tidak memiliki lahan.

 
Berita Terpopuler