Sawahlunto, dari Kota Mati Menjadi Warisan Budaya UNESCO (1)

Pengunjung duduk di depan kantor PT Bukit Asam yang merupakan gedung cagar budaya, di Sawahlunto.

Pengunjung melintas di depan bangunan cagar budaya di kawasan gudang ransoem Sawahlunto.

Pengunjung mengamati koleksi Museum Kereta Api di Sawahlunto.

Patung diorama aktivitas penambangan batu bara yang berada di depan Lubang Mbah Suro, terowongan bekas penambangan batu bara di Sawahlunto.

Lokomotif legendaris E1060

Rep: Antara Red: Yogi Ardhi

REPUBLIKA.CO.ID, SAWAHLUNTO -- Sawahlunto, terletak 95 kilometer sebelah timur laut kota Padang, Sumatera Barat dikenal sebagai kota penghasil batu bara sejak ahli geologi asal Belanda, Willem Hendrik de Greve menemukan kandungan batu bara di aliran Sungai Batang Ombilin sekitar tahun 1867.

Eksploitasi dan produksi batu bara pertama pun dimulai pada tahun 1892 sehingga Sawahlunto pun menjelma menjadi kota tambang. 

Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jalur kereta api menuju kota Padang untuk memudahkan pengangkutan batu bara keluar dari kota Sawahlunto tahun 1889. 

Seiring berjalannya waktu, pada periode 1940 hingga 1980 produksi batu bara anjlok, kembali meningkat pada tahun 1990 dan kembali turun pada tahun 2000. Hal ini menyebabkan berpindahnya sebagian pekerja tambang ke kota lain dan Sawahlunto pun menjadi kota mati.

Sejak ditetapkannya visi baru untuk membangun daerah, yakni mewujudkan Kota Wisata Tambang yang Berbudaya, Sawahlunto pun berbenah. Sejumlah cagar budaya, kereta api, termasuk lubang tambang di kota arang itu direvitalisasi.

 

 
Berita Terpopuler