Gay Inggris, Perang Salib, Berebut Kuasa di Maluku-Mataram

Persoalan invasi kekuasaan hingga gay itu melintasi zaman dan wilayah.

wikipedia
Menara London
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Mengikuti perjalanan pengamat sosial Fachry Ali memang mengasyikan. Setelah dari Jepang dan berkisah tentang ‘Politik-Ekonomi Kekuasaan Jawa’, dan ke Nigeria dengan kisah teringat keluasan padang rumput (savanah) serta sajak klasik Taufiq Ismail —tentang Sumba, ringkik kuda, dan Umbu Landu Paranggi—, kini berkisah tentang Kota Oxford, di Inggris. Sebelumnya dia berkisah dengan latar kepergiannya ‘menjenguk kuburan bapak komunisme: Karl Marx di London.

Dalam tulisannya yang dikirim via media sosial Ahad pagi (7/6), Fachry menulis begini: Berada di Oxford, 6 Juli 2019. Universitas kota yang didirikan semasa dengan Perang Salib ini hanya seratus tahun setelah didirkannya Universitas Al Azhar di Mesir.

Fachry Ali di Oxford, Inggris.

Sengaja saya susuri kota ini hanya ingin mendalami perasaan yang ditimbulkan sebuah adegan film, ‘Braveheart’. Adegan itu menggambarkan Raja Edward I, yang kala itu kian khawatir pada perkembangan kaum pemberontak, Maka dia kemudian memutuskan menaiki tangga Menara London untuk menemui putra mahkota yang berada di sana.

Namun, begitu raja masuk ke dalam Menara London, dia kaget setengah mati. Tak hanya itu Raja Edward kemudian mendamprat sang putra mahkota. Mengapa? Ya ternyata, di tengah suasana serba prihatin, sang putra mahkota malah malahan lebih memilih asyik-masyuk dengan pasangan gay-nya.

Dan mendengar dampratan itu, pacar gay putra mahkota menukas (membalas) ucapan raja. Maka dengan marah, Raja Edward I kemudian menyeret pacar putra mahkota itu ke jendela Menara London. Tak cukup menyeret ke jendela, dia kemudian malahan mendorong tubuhnya ke luar.

Nah, dalam sebuah buku yang saya (Fachry) baca, putra mahkota itu di kemudian hari naik menjadi raja dengan gelar Raja Edward II . Celakanya, dalam perang di ‘parlemen’ Inggris, Edward II dikalahkan Oliver Cromwell.

Akhirnya, sang raja yang Edward II yang gay ini mengalami nasib tragis. Ia ditusuk dengan besi panas dari dubur hingga ke mulut. ‘Jeritannyan,’ tulis pengarang buku yang juga saya beli di London pada 2009 itu, ‘terdengar hingga ke Oxford.’

Memang, lukisan jeritan sang pangeran ketika ditusuk besi banas itu mungkin berlebihan. Tapi, ketika kisah ini ditulis, di London sedang ada parade kaum gay dan lain-lain. Maka, secara subyektif, keberadaan saya di Oxford pada hari ini mempunyai struktur perasaaan asimetris yang aneh.

Namun apa pun perasaan ‘asimetris’ dan aneh yang menghinggapi Fachry soal raja gay  di Inggris itu, sebenarnya tak terlalu merasa terlalu heran, apalagi takjub. Sebab, tiba-tiba perasaan saya berlebat ketika menyinggung soal kaitannya Inggris (dan juga negara Eropa) dengan perang di masa lalu. Perang Salib itu pun sebenarnya istilah dari Timur Tengah. Istilah aslinya adalah Expeditio Sacra, Jelajah Suci). Maksudnya, merupakan serangkaian 'perang agama' yang terjadi di wilayah Timur Laut Timur Tengah yang direstui Gereja Latin pada abad pertengahan.

Pertanyaan yang lain menggelitik adalah: Apakah Perang Salib (istilah ini baru mengemuka sekitar tahun 1760,red) itu tak berlanjut di Nusantara?  Sebab, ini mengingat banyak orang yang salah paham perang salib bila imbasnya tak sampai ke Indonesia. Atau hanya imbasnya sekedar di Eropa, Timur Tengah, maupun Inggris belaka.

Tak hanya itu, orang-orang di Indonesia kini seolah-olah hanya tahu bila kisah Perang Salib itu sendu dan merdu seperti lagu legenda zaman ‘jadul’ pada tahun 1980-an akhir,  yang dinyanyikan Amy Seacrh: 'Isabella'. Lagu ini, yang berkisah dengan ikon salah satu perang itu adalah putri Zaida (orang Eropa menyebut sebagai Isabella).

Kala itu Zaida merupakan putri Raja Sevilla, Al-Mu'tamid ibn Abbad. Nah setelah kerajaan itu takluk kepangkuan penguasa Kristen, dia kemudian pindah agama. 

Secara ebih detil kisahnya begini:

Saat di masa jaya, Andalusia diserang oleh Kerajaan Almoravid atau Murabithun. Zaida lari, bersembunyi dan ditampung oleh Raja Alfonso VI, sang penguasa Kerajaan Leon, Castille dan Galicia.

Untuk melindungi diri, Zaida mengubah namanya menjadi Isabella. Dan kemudian Zaida akhirnya memutuskan untuk berganti agama, hingga ia memeluk Katolik Roma, agama mayoritas di Kerajaan Leon saat itu.

Saat itu ada ketentuan penguasa baru melalui inkuisisi dari gereja dan Raja Spanyol memutuskan bahwa para penduduk non Muslim Spanyol hanya ada dua pilihan, yang tetap menjadi orang Spanyol dengan memeluk Kristen, atau tetap menganut agama Islam (Yahudi), tapi dengan syarat ke luar dari Spanyol atau bila tetap di Spanyol akan dihukum bunuh. Ini terjadi pada tahun 1492 dengan keluarnya sebuah aturan dari Raja Ferdinand: 'Dekrit Alhambra'.

Nah, dari situasi akibat kekalahan kerajaan ayahnya dalam perang salib yang ganas itu jelas menakutkan Zaida, apalagi dia seorang perempuan sekaligus anak raja Sevilla yang menjadi taklukan perang. Namun, setelah menikah, dari rahimn Puteri Zaida itulah kemudian  lahir seorang putra bernama Sancho, yang keturunannya kemudian menikahi Earl of Cambridge dari Kerajaan Inggris pada Abad ke-11.

Dan dari Zaida itulah kemudian ada penulis Maroko yang berani mengkaitkannya dengan keturunan Nabi Muhammad melalui jalur nasab Fatimah dan Husein.

 Kisah tersebut bikin heboh media massa Inggris dan Timur Tengah seperti The Daily Mail,The Daily Express. Al Ousboue, hingga surat kabar Maroko dan media massa Indonesia  memuatnya. Tapi pihak Istana Buckhingham sampai sekarang tetap bungkam.

Pihak media yang skeptis bilang ini hoaks, namun yang percaya bilang:’ Itu jembatan bagus untuk menyelesaikan segala persoalan yang kini muncul hubungan antara negara-negara barat dan timur'.

Dan kontroversi nasab Rasullulah di kerajaan Inggris ini pun sebenarnya soal lama, yakni muncul pertama kali pada tahun 1986 oleh Burke's Peerage, otoritas Inggris yang menangani silsilah keluarga Monarki Britania Raya. Dan sebenarnya pula klaim Peerage juga didukung oleh sebuah riset genealogi dari Spanyol dan penelusuran mantan mufti agung Mesir, Ali Gomaa yang membuktikan hal serupa.

Tapi kembali ke soal Zaida atau sosok Isabella, di kawasan Melayu masa kini dia memang menjadi nama melankolik seperti lagu yang dinyanyikan Amy Search itu. Ini pun sejalan dengan sikap umat Islam terhadap 'perang salib' dan Zaida (Issabela) yang sebenarnya merupakan lambang duka saat kerajaan Muslim Spanyol takluk.

Sebab, akibat perang salib  faktanya di zaman setelahnya hingga hari ini (sudah lebih dari 1000 tahun) berimbas kepada penyebaran dakwah Islam dan 'penginjilan' Kristen. Kedua agama ini di depan hari terkesan berebut umat yang sempat disebut Emha Ainun Nadjib: 'Kayak pertandingan sepakbola yang sibuk dengan 'banyak-banyakkan' membuat gol'




Sayangnya, sebelum luka akibat Perang Salib ‘ mengering’ secara total, ternyata para penganut kedua  agama ini (Islam dan Kristen) itu kemudian bertemu dan bersaing di Maluku (kawasan timur Indonesia).

Awalnya, konflik ini sebenarnya terkait usaha sangat keras dari para penguasa Eropa kala itu untuk bisa menemukan kepulauan rempah yang kala itu baik jalur perdangan hingga sumber produksi rempah yang memang dikuasai penganut Islam. 



Soal pengaruh pedagang Muslim di Maluku itu tercermin dalam nama ‘Maluku’ sendiri yang merupakan kosa kata dari bahasa Arab (Malik), sehingga kepuluan ini terkenal sebagai kepulaun para Raja/Sultan, misalnya Kesultanan Ternate, Tidore, Raja Ampat dan lain-lain. Hingga kini banyak kepulauan di wilayah itu memakai bahasa Arab, seperti kepulauan Bintuni (anak perempuan), atau Irian (sekarang Papua, yang berasal dari kosa kata Arab  ‘Iryan atau gimbal/keriting). Kata Irian ini kemudian diplesetkan oleh Bung Karno sebagai akronom: Ini Republik Anti Nederland.



Nah, dalam catatan Antonio Pigafetta (pelaut Eropa) yang pertama kali sampai ke Maluku bahkan tercatat bila dia terkejut bila dipulau itu sudah ada orang Muslim yang mengenakan serban dan beropi putih(para Kajee/haji yang pernah ke Makkah). Mereka berbaur dengan penduduk setempat. Sorang tetua di Alor yang bermarga keluarga Oramahi, beberapa waktu silam sempat berkisah panjang lebar soal kedatangan para pelaut Eropa ini.



Dan memang, berbeda dengan pelaut Muslim yang membawa rempah, rute perjalanan Pigefatta sampai ke Maluku sangat berat, misalnya harus berayar memutari benua Amerika yang kala itu baru mereke kenal (dikenal oleh Columbus). Dia  pun harus menyeberangi Samudra Pasifik selama 98 hari. Jalur pelayaran dari Eropa menuju pulau rempat Maluku melalui Samidera Pasifik itu sama sekali tak dikenalnya. Kenyataan ini tentu berbeda dengan jalur Maluku ke Eropa yang dikuasai jaringan pedagang dan pelaut Muslim yang melalui rute selat Malaka dan India.



Pigefatta menulis begini ketika mengisahkan pelayaran ke Maluku: "Hari demi hari tidak menemukan pulau dan keterbatasan air minum selalu membayangi. Ditambah tikus, serbuk gergaji, serta kulit sebagai menu makanan.’’

Tak hanya derita selama pelayaran pertama kali menuju Maluku, komandan ekspedinya Magelhaans malahan lebih dulu mati sebelum sampauke pulau rempah tersebut. Dia mati  di-‘tawur’ penduduk lokal ketika armada ekspedisi lautnya sampai di Philipina akibat bersikap tinggi hati. Konflik dengan orang-orang Spanyol ini kemudian lestari sampai hari ini dengan menjelma menjadi perang di Moro yang membuat pusing pemerintah Philipina sampai sekarang.

Uniknya, sama dengan yang terjadi di Moro, akibat kedatangan orang Eropa ini —Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda— kepulauan Maluku ini juga kemudian membara dalam perang penguasa. Kala itu antar Sultan di sana angkat senjata karena berebut pasokan rempah yang harganya seperti emas ketika sampai di Eropa.

Maka antarkerajaan di wilayah itu pun sengit bertikai. Orang-orang Eropa membantu dan mengompori mereka. Para raja tak sadar bahwa kedatangan orang Eropa kala itu bukan hanya ‘murni berdagang’ tapi mengamalkan semboyan ‘Gold, Glory, dan Gospel’ sebagai imbas lain geliat dari perang Salib di Eropa atau bagian Timur Laut kawasan Timur Tengah.

Akibat perang, secara perlahan pasokan rempah serta kekuasaan para Sultan yang ada di wilayah itu perlahan-lahan dikuasi. Ini membutuhkan waktu sekitar 200 tahun. Rakyatnya sengsara karena terkena tanam dan kerja paksa melalui kebijakan ‘pelayaran hongi’ (mirip Cultuur Stelsel di Jawa yang diterapkan mulai tahun 1830 atau setelah usai Perang Diponegoro).

Para raja itu di Maluku lupa —bahkan tak tahu— bahwa semenjak dahulu ada seruan Paus Urbanus II di awal perang Salib agar umatnya pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan dan menyebarkan agama. 

Saat itu, pada 27 November 1095,  Paus Urbanus II menyerukan kepada umat Kristiani di seluruh Eropa agar memulai Perang Salib. Tujuannya guna merebut kembali Tanah Suci (Palestina) dari umat Islam serta merebut kendali ekonomi dari kendali orang-orang yang tinggal di selatan Eropa (Moor) yang Muslim.

Kobaran api perang yang dilontarkan Paus Urbanus inilah yang kemudian memicu perang salib babak pertama tersebut disampaikan dalam khutbahnya pada penyelenggaraan Konsili Clermont, Perancis selatan.

"Wahai rakyat Frank! Rakyat tuhan yang tercinta dan terpilih! Telah datang datang kabar memilukan dari Palestina dan Konstantinopel, bahwa suatu bangsa terlaknat yang jauh dari tuhan telah merampas negara tersebut, negara umat Kristen. Mereka hancurkan negara itu dengan perampokan dan pembakaran,'' kata Paus Urbanus II kala itu.

 
 
Paus Urbanus II saat menyerukan Perang Salib di Clermont, Perancis Selatan

Imbas sengatan semangat dari pidato Puas Urbanus itu ternyata di kemudian hari berbuntut sangat panjang, tak hanya di Eropa tapi hingga ke timur tengah, bahkan Maluku yang nun jauh dari sana. Orang-orang dari semenanjung Iberia seperti —Columbus, Magelhaens, Antonio Pegifata — itu kemudian terpicu menjadi pengelana laut dengan pergi ke sana yang mereka sebut juga sebagai kerajaan atas angin.

Jadi tak hanya tragis di Inggris seperti yang ditulis Fachry Ali perang salib ternyata tragis ketika sampai ke kepulauan Nusantara, bahkan kawasan Asia Tenggara dengan meletusnya konflik di Moro (Philipina Selatan), hingga kemudian ke Semenanjung Malaya (peristiwa penaklukan Malaka pada tahun 1511 M oleh Portugis.

Dan tak hanya anggota dinasti Kerajaan Inggris saja yang jadi korban, para keturunan Kerajaan Demak seperti Pangeran Pati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dan Ratu Kalinyamat di Jepara pun menjadi korbannya saat mereka gagal total kala armada lautnya menyerbu membebaskan Malaka dari kekuasaan para orang Eropa di sana.

Alhasil, kesedihan dan kepapaan imbas perang Salib itu ternyata sampai di mana-mana, bahkan mengarungi tempat dan waktu dalam sejarah. Dan khusus untuk Inggris, Fachry sekan terlupa bahwa bala tentara kerajaan Inggris pun pada awal abad 18 pernah menyerbu dan ’merampok’ Kesultanan Mataram Jogjakarta. Harta beda dijarah, sampai kancing baju bangsawan Mataram yang terbuat dari berlian mereka preteli dan berlian sebesar jempol milik seorang putera raja yang disimpan di dalam sumur dipaksa diambil. Tak hanya itu akibat lainnya juga kemudian muncul Kesultanan Pakualaman.

Segala soal kenangan buruk tersebut  oleh Sultan Yogyakarta masa kini pernah diungkap: "Kala itu ada 40 gerobak berisi buku-buku karya pujangga Jawa diangkut pasukan Inggris (di sini ada legiun Gurkha) melalui pelabuhan Semarang. Kini buku itu menjadi koleksi British Musseum di Inggris."

Jadi kisah gay di Inggris dan juga kisah perang salib memang pilu abang? Jeritannya itu tak hanya terdengar sampai Menara London, tapi hingga ke seantero dunia! Bahkan sampai sekarang, seperti di katakan Presiden AS George Bush saat hendak berperang dengan Irak melawan Sadam Hussein pada episode Perang Teluk. Dia ternyata memakai istilah 'Crusade' (Perang Salib). Hasilnya, Irak hancur lebur dan terjebak dalam perang dan konflik sosial!

 
Berita Terpopuler