Sunan Kalijaga, Pak Harto: Islamnya Orang Jawa di Zaman Modern

REUTERS
Indonesia's President Suharto (L) rides a Harley Davidson with his vice-presidential running-mate Jusuf Habibie in front of the State Palace in Jakarta on September 1, 1996. President Suharto, threatened with effective impeachment, resigned on Thursday aft
Red: Muhammad Subarkah

Tak dapat dimungkiri, mantan presiden Soeharto (akrab dipanggil Pak Harto) yang berulang tahun pada 8 Juni ini (lahir di Desa Kemusuk, Kabupaten Bantul, 8 Juni 1921) meninggalkan jejak yang panjang, khususnya bagi umat Islam Indonesia. Di satu sisi, kerap dipandang tak ramah terhadap Islam (terutama di masa awal Orde baru). Di sisi lainnya, begitu akrab dengan Islam (terutama setelah tahun 1990 atau di penghujung masa pemerintahannya).

Bila ditelusuri ke belakang, Soeharto memang lahir bukan dari kalangan Islam yang bisa digolongkan sebagai keluarga santri. Sosok lingkungannya bisa dikatakan berasal dari kalangan Jawa yang pemahaman keagamannya masih "setipis kulit ari" (meminjam istilah MC Ricklefs--Red) atau kaum abangan (meminjam Cliffrod Geertz--Red).

Meski tumbuh di kalangan Islam abangan, Soeharto pada masa kecil sempat mengenyam pendidikan SMP Muhammadiyah. Di situ dia sempat mencicipi keanggotaan pandu Hizbul Wathon. Perihal sekolahnya ini seringkali diucapkan dalam pidatonya, misalmya pada Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta ke 42 pada tahun 1990 silam.

Selain itu, terutama ketika tinggal di rumah pamannya di Wuryantoro Wonogiri, pemahaman agamanya juga didapat dari para guru mengaji atau kiai desa di masjid yang ada di sekitarnya. Semasa hidup, Soeharto pun sering menceritakan bahwa dirinya dulu kerap tidur di masjid dan memukul beduk saat waktu shalat tiba atau pada malam Ramadhan dan hari raya.

Seperti orang Jawa lainnya, "tipisnya" pemahaman akan ajaran Islam membuat Soeharto kerap pergi menyepi untuk bertapa atau menyendiri di tempat keramat. Petilasan tempat Soeharto melakukan ritual ini terdapat di banyak tempat dan sampai sekarang pun banyak orang mengunjunginya. Di perbukitan kecil, yakni Bukit Srandil, di pinggir Pantai Selatan Jawa yang berada di kawasan timur Cilacap (sebelah selatan Gombong), orang masih melihat petilasan yang terkenal dengan sebutan petilasan pertapaan Soeharto.

Di tempat lain, misalnya di sebuah lereng di hutan Gunung Lawu atau di pertemuan tiga anak sungai di dekat Semarang, orang pun masih mengenalnya sebagai tempat Soeharto melakukan ritual tirakat ala orang Jawa.


Persentuhan Soeharto dengan Islam semakin intens ketika dia naik ke tampuk kekuasaan. Peristiwa G-30-S/PKI harus diakui sebagai pemicu terbesarnya. Di situlah dia secara nyata bersinggungan dengan isu Islam, baik soal agama maupun Islam sebagai aliran politik.

Memang, pada periode ini ada persinggungan yang aneh antara sosok Soeharto dengan isu-isu Islam. Di sisi lain, Soeharto yang saat itu dilingkari jenderal-jenderal dari kalangan priayi-abangan (hanya sedikit yang santri) menampilkan kebijakan anti-Islam, maksudnya Islam sebagai gerakan politik.

Pada masa awal Orde Baru, dia menghalangi munculnya kebangkitan Partai Masyumi Baru yang salah satu inisiatornya Bung Hatta. Soeharto kemudian juga memecah kekuatan politik Islam NU dengan memaksa mereka melakukan fusi dengan kekuatan politik Islam lainnya melalui Partai Persatuan Pembangunan.

Dia hanya memberi angin kepada kekuatan politik dari kalangan priayi-nasionalis yang tergabung dalam Golkar. Akibatnya, kekuatan Islam politik pun dibonsai habis-habisan, menyusul kekuatan partai komunis yang terlebih dahulu secara formal dia bubarkan. Bahkan, dalam hal ini dia kemudian membuat hantu baru bahwa ekstrem kanan (gerakan politik Islam) dan ekstrem kiri (gerakan komunis) adalah ancaman terbesar bagi eksistensi bangsa Indonesia.

Uniknya, di saat kekuatan Islam politik dia sapu bersih, Soeharto memberikan angin yang cukup besar bagi perkembangan umat Islam. Kelompok dan ormas Islam yang apolitis bisa mengembangkan dirinya dengan cepat.

Anak-anak santri yang berasal dari rakyat jelata, yang semenjak Indonesia merdeka hidup dalam kemiskinan, mulai menapaki jalan "kenaikan kelasnya" karena mampu bersekolah dengan murah. Masuk perguruan tinggi yang selama ini hanya dikecap golongan priayi dan abangan (karena menjadi birokrat yang kaya raya) mampu dikecapnya.

Biaya kuliah yang saat itu dibuat Soeharto dengan sangat murah atau terjangkau menjadi sarana pendorong utama anak-anak santri yang ada di perdesaan naik kelas sosialnya. Istilahnya, bagi rakyat perdesaan yang kala itu punya anak pintar: hanya menjatah hasil panen pada empat pohon kelapa, mereka bisa menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi negeri.

Dalam hal ini, apa yang dikatakan mendiang Dr Nurcholish Madjid menjadi benar adanya. Bila dahulu sampai dekade 1960-an anak-anak santri hanya lulus SD, pada dekade 70 sudah rata-rata lulus SMA, lalu pada awal 80-an lulus perguruan tinggi, dan pada awal 90-an sudah banyak yang menjadi doktor.

Dan salah satu kelompok masyarakat yang bisa dikatakan paling menikmatinya adalah kalangan umat Islam yang berada dalam ormas Muhammadiyah yang saat itu dipimpin AR Fachruddin.

Selama kurun itu, dengan kebijakan yang rendah hati dan tawasuth dari AR Fachruddin, maka ormas Islam tersebut membesar dengan hebat. Fasilitas layanan umumnya berkembang luar biasa. Warga Muhammadiyah, karena lebih apolitis, bisa masuk secara leluasa menjadi birokrat dengan nyaman. Kehancuran ekonomi umat akibat bangkrutnya perdagangan batik milik para saudagar kemudian bisa teratasi secara perlahan.

Pak AR Fachrudin pun memberi contoh secara langsung. Dia memilih hidup sederhana dengan berjualan bensin eceran di depan rumahnya yang berada tak jauh dari Bundaran UGM. Dia tak tergiur dengan jabatan menteri agama meski Soeharto menawarinya secara langsung berulang kali. Situasi ini berbalik dengan NU yang terus berada "di pinggiran" karena saat itu sibuk dan terlalu berfokus pada gerakan politik.


Sepanjang masa awal Soeharto berkuasa hingga satu dekade akhir sebelum dia lengser, meski dibiarkan berkembang asal tak berpolitik, sebenarnya umat Islam dia represi. Soeharto dan para penasihatnya tak memberi kesempatan umat Islam untuk memberikan sikap politiknya. Dengan bantuan lembaga think-tank CSIS yang didirikan Ali Moertopo, yang berpusat di Tanah Abang, kekuatan politik Islam dilibas habis.

Bahkan, kekuatan ormas Islam jadi bahan olokan. Di kalangan elite Orde Baru pada 70-an dikenal sebutan peyoratif ketika menganalisis kekuatan politik Islam: tak terorganisir dengan baik, tak punya dana, dan emosional.

Situasi ini makin tak kondusif dengan munculnya berbagai gerakan yang ditengarai ingin mendirikan negara Islam, seperti Komando Jihad sebagai kelanjutan perjuangan DI/TII. Entah bagaimana, tiba-tiba muncul aneka tindakan kekerasan dari kerusuhan hingga pengeboman. Dan salah satu puncaknya adalah munculnya Tragedi Pembantaian Tanjung Priok.

Bila ditelisik, munculnya kasus Priok tidak hanya disebabkan oleh hal yang tunggal, yakni perlakuan kasar anggota militer terhadap kelompok umat Islam yang pada saat itu di Jakarta Utara itu. Namun, penyebab lainnya adalah adanya situasi kebijakan negara yang terkesan sangat anti terhadap berbagai hal yang berbau atau memakai lambang Islam. Pelarangan jilbab dan kebijakan pendidikan yang pendidikan Islam adalah beberapa hal yang juga menjadi soalnya.

Belum lagi ceramah agama dan khutbah yang selalu dikontrol aparat intelijen negara. Penangkapan serta represi kepada para dai dan aktivis Petisi 50 yang kebanyakan merupakan tokoh Islam juga menjadi biang keladinya.

Namun, setelah peristiwa pecahnya kerusuhan Tanjung Priok, mulai terjadi perubahan dalam kebijakan Soeharto. Di beberapa kalangan kemudian beredar kisah peristiwa reuni para teman Soeharto ketika dahulu bersekolah di sebuah SMP Muhammadiyah di Yogyakarta.

Pada saat itu beberapa temannya menanyakan soal peristiwa Tanjung Priok. Dan kepada temannya yang jadi presiden itu, dia meminta agar Soeharto jangan kejam atau bertindak terlalu berlebihan terhadap umat Islam. "Apa salahnya kok sampai seperti itu perlakuan terhadap orang Islam?" kata sang teman.

Soeharto tercenung sesaat dan mengangguk-angguk, apalagi setelah sang teman mengatakan bahwa apa yang dilakukan akan sia-sia karena semua manusia akhirnya meninggal dunia serta dimintai pertanggungjawaban di depan mahkamah Illahi











 
Berita Terpopuler