Meluruskan Sesat Pikir dan Kelola Bela Negara

Republika/Mahmud Muhyidin
Massa Front Pembela Islam (FPI) berkumpul di depan Markas Polda Jabar, Jalan Sokarno Hatta, Kota Bandung, Kamis (12/1).
Red: M Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriwan Salim, S.Pd, M.Si (Peneliti PUSPOL Indonesia)

Akhir-akhir ini pemberitaan media massa ramai mewartakan keterlibatan FPI (Front Pembela Islam) dalam Pelatihan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) yang diselengarakan oleh satuan teritorial TNI di Lebak, Banten. Bukan tema pelatihan bela negaranya yang jadi polemik, namun yang membuat polemik (khususnya di media sosial) adalah keterlibatan FPI dalam pelatihan bela negara tersebut. Protes di media sosial karena FPI terlanjur dicitrakan adalah organisasi masyarakat (ormas) yang acap kali melakukan tindak kekerasan.

Suatu hal yang mengandung kontradiksi, di satu sisi TNI adalah alat negara yang menjalankan misi, mempertahankan NKRI sekaligus mempromosikan kecintaan dan kebanggaan terhadap Indonesia. Sedangkan di sisi lain pelatihan bela negara yang menjadi strategi menumbuhkan kecintaan kebangsaan tersebut diikuti oleh ormas yang dicitrakan keras dan merusak nilai-nilai kebangsaan. Polemik tersebut berujung dicopotnya Komandan Kodim 0603 Lebak oleh Pangdam III Siliwangi.

Dalam tulisan singkat ini ada beberapa poin mendesak untuk dielaborasi terkait bela negara tersebut. Sebabnya adalah masih banyak kekeliruan masyarakat dalam memahami bela negara. Bahkan ada yang mengatakan bela negara adalah wajib militer, atau setidaknya memahami bela negara adalah kegiatan wajib militer dengan bentuk seperti latihan perang dan seterusnya.

Dalam kaca mata ini bela negara sudah direduksi. Begitu pula terkait regulasi (kebijakan) perihal bela negara ini, termasuk lembaga yang berwenang menyelenggarakannya. Sikap yang paradoksal juga ditunjukkan oleh pemerintah. Bagi Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pendidikan bela negara adalah hak siapapun mengikutinya termasuk ormas seperti FPI. Tapi menurut Pangdam III/Siliwangi Mayjen M. Herindra bela negara hanya untuk (ormas) yang pro-Pancasila. Pernyataan yang emosional dan tidak strategis saya kira.

Sebelumnya yang mesti dipahami dulu adalah definisi bela negara itu sendiri. Upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa (UU No. 3 Tahun 2002).

Pertama, istilah bela negara secara normatif-yuridis terdapat di dalam UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat (3) “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Sebagai acuan yuridis konstitusional, UUD 1945 menjadi pijakan tertinggi dalam kegiatan bela negara tersebut. Jelas bahwa bela negara merupakan hak sekaligus kewajiban konstitusional “setiap” warga negara Indonesia.

Kata “setiap” bermakna bahwa siapapun dari warga negara Indonesia punya hak dan kewajiban untuk melaksanakannya. Negara tidak melihat latar belakang suku, agama, ras, partai, kelompok, ormas, gender, status ekonomi dan beragam identitas lainnya, untuk melakukan upaya bela negara.

Jadi jika kesadaran akan bela negara tersebut muncul dari setiap anak bangsa (apapun identitas primordial dan identitas lain dalam diri/kelompoknya) termasuk FPI, tentu akan menjadi sebuah nilai kebaikan tersendiri. Karena memang negara tidak boleh memandang warganya berdasarkan identitas tersebut, karena bela negara adalah panggilan kebangsaan yang bersifat sangat pribadi.

Kemudian istilah bela negara juga terdapat di dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 9 ayat (1) “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara”. Lagi-lagi dikatakan secara eksplisit dalam UU ini bahwa bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara, tentu dengan pendekatan konteks pertahanan negara. Kelemahan yang muncul kemudian adalah belum adanya satu UU tersendiri yang secara spesifik, teknis operasional membahas secara lengkap upaya bela negara.

Walaupun Kemenhan sudah mengajukan draf RUU Bela Negara ke DPR RI, tetapi sepertinya belum menjadi prioritas bagi DPR untuk dibahas sampai saat ini. Saya pikir saat ini adalah waktu yang sangat tepat untuk melahirkan regulasi teknis sebagai pijakan operasional pemerintah dalam menyelenggarakan bela negara tersebut.

Di tengah menguatnya isu-isu keberagaman, intoleransi dan konteks kebangsaan lainnya. Walaupun tak tembus melalui RUU Bela Negara, sepertinya presiden bisa mengeluarkan dalam bentuk Perpres Bela Negara atau Inpres, seperti Inpres No. 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental. Tak salah pula jika presiden membuat Inpres Gerakan Nasional Bela Negara.

Kedua, yang juga sangat penting untuk dikoreksi adalah karena belum adanya pijakan hukum bela negara yang bersifat acuan konsep dan teknis operasional, maka hal itu berdampak kepada strategi, model dan bentuk program bela negara tersebut, yang juga beragam dan tumpang-tindih saat ini.

Kembali ke UU No. 3 Tahun 2002 dalam ayat (2) dikatakan bahwa keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara tersebut dilakukan melalui:
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib;
d. pengabdian sesuai dengan profesi.

Dalam ayat ini ingin dikatakan bahwa ada 4 (empat) cara/bentuk/wujud bela negara tersebut. Tapi persoalan kemudian yang muncul adalah betapa sangat umum dan tumpang-tindihnya wujud implementasi bela negara, baik secara konsepsi maupun teknis. Secara konsepsi yang saya maksudkan adalah adanya istilah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

Apakah PKn yang dimaksud PKn sebagai mata pelajaran di sekolah-perguruan tinggi? Atau PKn sebagai sebuah aktivitas kewargaan untuk menanamkan rasa cinta tanah air? Secara konseptual seolah-olah UU Pertahanan ini ingin bersaing dengan UU Sistem Pendidikan Nasional 20 Tahun 2003 yang juga menjelaskan tentang mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai mata pelajaran dalam kurikulum persekolahana tanah air.

Lebih aneh lagi dalam UU Pertahanan Pasal 9 ayat (3) dikatakan bahwa “Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang”. Pendidikan Kewarganegaraan ala militer ini akan diatur dalam sebuah UU secara khusus. Persoalannya mana yang lebih otoritatif bela negara melalui PKn dalam konteks mata pelajaran yang juga memuat nilai bela negara (pendekatan masyarakat sipil) atau PKn dalam perspektif militer?

Adanya dua (2) pendekatan PKn sebagai wujud bela negara ini merupakan kekeliruan konseptual saya pikir. Karena UU ini memerintahkan dibuatnya RUU PKn (ala Kemenhan dan militer), sedangkan Kemdikbud dan Kemriset Dikti selama ini sudah memiliki acuan konseptual dan operasional mengenai kurikulum PKn di sekolah dan perguruan tinggi, yang secara teoritis memuat pendidikan bela negara.

Artinya adalah upaya pendidikan bela negara secara nasional sudah dan sedang kita laksanakan secara terstruktur dan terencana sampai sekarang. Karena PKn sebagai wujud pendidikan bela negara sudah ada berdiri kokoh dalam struktur kurikulum nasional. Pendidikan Kewarganegaraan salah satu misi dan muatannya adalah sebagai pendidikan bela negara (Udin, 2001, Winarno, 2007 dan Soemantri, 2001).

Oleh karena itu jika yang dimaksudkan adalah PKn dalam konteks kurikulum persekolahan dan perguruan tinggi, sebagai wujud pendidikan bela negara, maka tidak lagi dibutuhkan PKn ala militer atau kementerian pertahanan tersebut untuk dibuat RUU-nya. Hal inilah kemudian yang menimbulkan multiinterpretasi dalam pelaksanaan secara teknis pendidikan bela negara tersebut.

Makanya tidak heran jika Kemenhan termasuk TNI (mulai dari jajaran Mabes sampai Koramil) melaksanakan Pendidikan Bela Negara ala militer tersebut umumnya dengan bentuk;

a. Pemberian materi-materi bermuatan kebangsaan (bersifat klasikal, ceramah bahkan cenderung indoktrinatif dan lumayan menjemukan). Padahal materi PKn di sekolah dan perguruan tinggi sudah menlaksanakan secara terstruktur dan terencana.
b. Out Bound atau permainan di lapangan/alam bebas/luar kelas yang menitikberatkan keterpaduan pengetahuan, keterampilan dan mental
c. Latihan baris-berbaris/upacara bendera dan keterampilan fisik corak militer lainnya (makan komando, kesiapsiagaan dst).

Ketiga, yang tak kalah pentingnya adalah lembaga yang semestinya menjadi leading sector untuk mengomandoi segala bentuk aktivitas bela negara ini. Sehingga bela negara bisa menjadi suatu gerakan nasional yang terstruktur dan jelas. Walaupun kegiatan pendidikan bela negara ini bisa dilakukan oleh semua kementerian atau lembaga, tetapi harus dibutuhkan lembaga sentral yang bertugas merencanakan, mengarahkan, mengawasi dan mengevaluasi setiap kegiatan terkait bela negara.

Selama ini secara dominan Pendidikan Bela Negara diatur dan dilaksanakan oleh Kemenhan (termasuk TNI). Bahkan di Kemenhan sendiri sampai sekarang terdapat Direktorat Bela Negara di bawah Dirjen Potensi Pertahanan. Di lain hal, tiap matra TNI juga memiliki program-program bela negara sampai jajaran satuan teritorial di bawah (daerah).

Seperti yang diwartakan sebelumnya, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan presiden berencana akan melimpahkan kewenangan bela negara tersebut kepada Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas). Ini akan menimbulkan persoalan baru lagi, sebab struktur eselon II berlabel bela negara yang selama ini ada dalam Kemenhan (yang pendanaannya dari APBN) akan hilang begitu saja atau direstrukturisasi.

Perlu kemudian koordinasi yang mendalam dan terarah, setidaknya antar lembaga; Kementerian Pertahanan, Mabes TNI, Dewan Ketahanan Nasional, Lemhanas dan tak kalah penting adalah Kementerian Pendidikan & Kebudayaan dan Riset-Dikti. Bersama-sama untuk membuat konsep dan skema yang terarah dan terukur demi terlaksananya bela negara yang jauh dari nuansa militeristik dan indoktrinatif. Tentu sambil menunggu lahirnya Inpres/Perpres Bela Negara.

 
Berita Terpopuler