3 Masjid Tua Jakarta

Republika/ Wihdan
Wisatawan nusantara mengunjungi Kawasan Kota Tua, Jakarta, Kamis (17/12). (Republika/WIhdan Hidayat)
Rep: Wachidah Handasah Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama masa pemerintahan kolonial, Islam di Batavia terus berkembang. Orang-orang dari berbagai suku bangsa di nusantara, seperti Sunda, Jawa, Bugis, Banjar, Banda, Bali, Ambon, dan lainnya.

Serta, para pendatang dari berbagai negeri, seperti  Arab, Turki, Persia, Mesir, India, Cina, Patani (Thailand), Kamboja, dan Burma (Myanmar) berdatangan dan menetap di Batavia. Mereka tinggal di perkampungan yang terpisah, tetapi interaksi dagang dan keagamaan berjalan secara berkesinambungan di antara mereka. Bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar keseharian mereka.

Kala itu, Batavia merupakan salah satu pusat jaringan ulama di Asia Tenggara. Bahkan, pada awal abad ke-20, kota ini menjadi salah satu pusat pergerakan Islam yang penting. Batavia, bersama Singapura, menjadi tempat transit jamaah haji, pelajar, dan ulama nusantara yang hendak berangkat atau pulang dari Timur Tengah.

Keberadaan masjid-masjid tua di Jakarta menjadi saksi bisu berkembangnya gairah keagamaan di Batavia pada masa itu. Banyak masjid tua itu telah berdiri sejak abad ke-18, bahkan ada yang berasal dari abad ke-17. Dari sejumlah masjid tua di Batavia (kini Jakarta), tiga di antaranya akan kita telusuri bersama-sama.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --cInilah salah satu masjid tertua di Jakarta. Berlokasi di Jatinegara Kaum, Jakarta Timur, ini merupakan masjid bersejarah yang kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Menurut pengamat sejarah Betawi, Alwi Shahab, Masjid Assalafiah merupakan pengembangan dari sebuah mushala yang dibangun oleh Pangeran Ahmad Jaketra (Pangeran Jayakarta) pada 1620, hanya satu tahun setelah ia dan keluarganya kalah dari VOC dan terusir keluar dari Batavia.

Sebelum bernama As-Salafiyah, masjid ini dikenal sebagai Masjid Pangeran Jayakarta. Pada masa kolonial, masjid ini menjadi tempat berkumpul para ulama, tokoh masyarakat dan jawara untuk menyusun strategi perjuangan dan dakwah Islam. Sejak berdirinya, Masjid As-Salafiyah setidaknya telah mengalami delapan kali renovasi.

Hasilnya, Masjid As-Salafiyah kini tampak lapang. Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan marmer menutupi hampir seluruh dindingnya. Sementara, di samping kiri masjid terdapat makam Pangeran Jayakarta, kerabat serta pengikutnya. Makam itu berada dalam sebuah pendopo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika Anda jalan-jalan di kawasan Bandengan Selatan, Jakarta, besar kemungkinan Anda akan melihat Masjid Bandengan. Sebuah masjid tua yang telah berdiri sejak 1786. Ini merupakan masjid pertama yang didirikan untuk kaum Cina peranakan di daerah Glodok. Sejarah mencatat, masjid ini dibangun di atas tanah milik seorang kapten Cina yang telah masuk Islam. Di bagian belakang masjid terdapat sebuah makam Islam yang pada batu nisannya terdapat tulisan Cina berbunyi Fatimah Hwu, serta angka Arab yang menyebutkan tahun 1792. Pada batu nisan itu, terdapat pula ornamen-ornamen seperti kepala naga. Fatimah Hwu adalah istri Kapten Tamiem Dosol.

Secara arsitektur, masjid ini memiliki desain yang menarik. Denahnya berbentuk persegi, beratap tumpang satu dengan bentuk limasan. Bentuk seperti ini mengingatkan pada gaya rumah pendopo di daerah Jawa Tengah. Padahal, masjid ini dibangun oleh orang Moor yang mulai bermukim di Batavia pada sekitar abad ke-17. Sementara, nama Bandengan mengacu pada kondisi daerah tersebut yang kala itu masih berupa rawa-rawa dan menjadi tempat hidup ikan bandeng.

Dulu, ketika masjid ini dibangun, komunitas Muslim merupakan warga mayoritas di kawasan itu. Tapi kini, Muslim di sana  telah menjadi minoritas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berada di kawasan Pekojan, Jakarta Barat, masjid ini tergolong kecil namun unik. Didirikan pada 1249 H atau 1829 M, masjid ini memiliki unsur-unsur arsitektur Eropa, Tionghoa, dan Jawa. Hal tersebut mirip dengan beberapa masjid di Cirebon dan Pasuruan. Terdiri dari dua lantai, lantas atas masjid ini digunakan sebagai ruang shalat sedangkan lantai bawah difungsikan untuk tempat tinggal pengurus masjid dan ruang usaha (toko).

Masjid Langgar Tinggi masuk dalam daftar warisan sejarah Kota Jakarta yang dilindungi. Masjid kuno ini pertama kali dibangun oleh seorang Muslim dari Yaman bernama Abu Bakar di atas tanah wakaf dari Syarifah Mas'ad Barik Ba'alwi. Pada November 1833, Masjid Langgar Tinggi diperluas oleh Syekh Said Naum, seorang kapitan Arab untuk wilayah Pekojan. Ia juga dikenal sebagai saudagar Muslim kaya raya dari Palembang.

 
Berita Terpopuler