Relawan Perlaya di Negeri Syam

Ist
Hamza semasa hidup
Red: Maman Sudiaman

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Doddy Cleveland (Relawan Kemanusiaan)

Ramadhan saat ini seolah kembali mengingatkan dengan seorang relawan kemanusiaan yang perlaya (menemui ajalnya) di negeri Syam pada usia yang masih muda tepat Ramadhan dua tahun lalu.

Saya mengenal anak muda itu di Kota Aleppo, Suriah, sewaktu masih menjadi relawan kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sekaligus pelaksana program Food for Syria di bulan September tahun 2013. Pertemuan yang hanya beberapa hari namun sangat intens itu membuahkan rasa saling mengenal, keakraban, dan respek yang mendalam. Sikapnya yang hangat, tulus, dan penuh keceriaan itu sangat mengesankan bagi siapa pun yang mengenalnya.

Dia memperkenalkan dirinya sebagai Hamza, asli orang Suriah.  Setelah beberapa waktu berkenalan, barulah saya mengetahui darinya bahwa nama tersebut bukanlah nama sebenarnya. Untuk alasan keselamatan, sangat lazim bagi masyarakat Suriah di pengungsian menggunakan nama samaran. 

Orangnya ganteng mirip aktor film dengan perawakan seperti orang melayu. Gayanya cool dan ‘asyik’. Sangat ramah, hatta terhadap orang yang baru dikenalnya, juga humoris. Begitu bertemu dengannya, kami langsung akrab dan laksana sahabat lama.

Sebelum di Aleppo, Hamza tinggal di kota Damaskus. Hamza seorang yang cerdas, menamatkan S1 nya tahun 2012 di Fakultas Teknik  Jurusan Biotechnology di Damascus University. Ia adalah seorang atlet yang memenangkan banyak medali dan tropi dalam  berbagai kejuaraan senam. Hamza juga menyukai olahraga renang dan taekwondo. Hobi fotografi, serta fasih berbahasa Arab dan Inggris. Hamza orang yang cukup agamis , 4 juz Alquran dia hafal di luar kepala.

Perang di Suriah yang bermula pada Maret 2011 dan kemudian membara ke seantero Suriah, akhirnya memaksanya untuk pergi meninggalkan Damaskus. Meninggalkan semua kenangan dan juga cita-citanya sebagai seorang expert di bidang Biotechnology.  Ia kemudian menetap di Aleppo, kota terbesar ke dua di Suriah. Di kota yang tercabik perang ini, Hamza bergabung dengan sebuah Lembaga Kemanusiaan Suriah. Dan kerja-kerja kemanusiaan membuat kami bertemu.

Hamza dan beberapa relawan mendiami sebuah bangunan laksana rumah toko. Di sini pula kami menetap selama di Aleppo. Bangunan ini berlantai 4, tanpa lift tentunya. Bangunan setengah jadi, dengan berbagai kerusakan-kerusakan, buah akibat perang. Tempat ini juga di lengkapi dengan sebuat genset kecil, karena di Aleppo, listrik selalu byar pet. Aliran listrik lebih sering padam ketimbang menyala. Headlamp yang kami bawa dari Jakarta juga seringkali kami kalungkan di leher, bahkan pada saat tidur sekalipun.

Lokasi bangunan tempat kami tinggal ini terletak di sebuah pasar yang cukup ramai. Berada di pinggir jalan raya yang tidak terlalu besar. Tidak sampai 50 meter dari tempat ‘kost’ kami, ada sebuah bangunan rumah sakit lima lantai porak poranda dibom dengan daya ledak tinggi. Konon masih banyak korban baik pasien, masyarakat, maupun tenaga medis yang mati syahid dan terkubur di rumah sakit tersebut. Namun keterbatasan peralatan berat menyebabkan susahnya menggali bangunan yang sudah lumat tersebut.

Pada waktu itu, kontrol atas Kota Aleppo terbagi dua, yaitu sebagian dikuasai oleh oposisi dan sebagian masih dikuasai oleh pemerintah, sehingga pertempuran terjadi setiap hari, terlebih di waktu malam untuk memperebutkan dan mempertahankan bagian bagian kota. Rententan suara tembakan dan suara ledakan bom yang menggelegar kerap terdengar dari tempat kami tinggal.

Setiap pagi saya dan Hamza memiliki aktivitas menyiapkan roti-roti bagi para pengungsi dan masyarakat miskin di Aleppo. Roti di produksi di sebuah pabrik roti tersembunyi yang kami biayai operasionalnya. Bahan baku utama yaitu gandum berasal dari Turki. Setiap pagi, kami sudah bergerak menuju pabrik roti tersebut, melakukan pendataan dan persiapan untuk melakukan distribusi.

Untuk distribusi, kami membentuk 12 pos kemanusiaan untuk pembagian roti secara gratis, dimana melalui pos-pos kemanusiaan tersebut, ribuan paket roti didistribusikan bagi ribuan keluarga setiap harinya. Sudah jadi pemandangan umum di berbagai kota di Suriah, anak-anak dan ibu-ibu berbaris mengantri pembagian roti di pagi hari. Perang memang telah melumpuhkan sendi ekonomi begitu banyak keluarga.

Untuk operasional, kami menggunakan sebuah mobil sedan tua berwarna hitam yang sudah koyak disana sini. Mobil dengan penuh gores dan beberapa bekas lubang peluru. Tentu saja tidak ber AC. Dengan mobil ini kami menyambangi pos-pos kemanusiaan yang kami bentuk untuk melakukan pendataan dan berbagai keperluan. Sedangkan roti dibawa oleh sebuah truk. Kelak, setelah beberapa bulan meninggalkan Aleppo, mobil operasional ini terkena bom dan hancur total.

Hamza orang yang sangat cekatan, cerdas, dan senang membantu. Berbagai ide hingga perencanaan teknis dapat lahir dari dirinya untuk membuat berbagai program kemanusiaan. Dari berbagai diskusi, lahirlah ide-ide untuk membuat berbagai program kemanusiaan yang menyentuh langsung hajat para pengungsi dan orang-orang miskin dan yang termiskinkan akibat perang di Kota Aleppo.

 

 

REPUBLIKA.CO.ID,  Dari pengalaman membagikan roti dan paket pangan di Kota Aleppo itu, saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana akibat kekejaman perang. Bangunan-bangunan yang hancur menjadi saksi hilangnya nyawa ribuan manusia. Juga ratusan ribu anak manusia yang terhenti penghasilannya akibat perang yang melanda dan terpaksa harus merelakan dirinya untuk antre makanan setiap pagi. 

Hamza sering bercerita bagaimana pilu dan merana nya masyarakat di Suriah setelah terjadi perang.Ratusan Ribu orang-orang yang mengalir untuk mengungsi ke Aleppo dan juga masyarakat yang termiskinkan akibat perang menjadi problema kemanusiaan tersendiri yang tidak dapat terselesaikan dengan hanya diskusi dan debat kusir semata. Belum lagi anak anak yang tidak lagi dapat bersekolah, karena gedung sekolahnya penuh sesak dengan para pengungsi yang berasal dari luar Kota Aleppo.

Sekembali dari Aleppo dan kembali ke Jakarta, kami pun terus berkomunikasi. Dari mulai menanyakan kabar berita hingga membahas berbagai program.

Berita tentang rusak beratnya tempat yang kami diami juga hancurnya mobil sedan hitam yang biasa kami tumpangi setiap hari akibat ledakan bom pun saya terima serta beberapa foto kehancuran yang membuat hati menjadi miris.

Dan...takdir yang digariskan Allah SWT pun tiba...

Di suatu pagi di bulan suci Ramadhan, sebuah serangan udara dengan menabur bom, menyasar di kawasan tempat Hamza dan beberapa relawan kemanusiaan tinggal.

Seorang relawan bercerita. Seperti biasa, pagi itu Hamza sedang di jalan, untuk menyiapkan paket-paket roti dan pangan lainnya untuk sedianya di gunakan untuk berbuka shaum bagi para pengungsi dan orang-orang miskin di Kota Aleppo. Pada saat itulah sebuah bom jatuh dari udara dan meledak sekitar 10 meter di hadapannya..

Hamza perlaya (menemui ajal) seketika itu juga...

Berita duka itu saya terima menjelang Maghrib ketika sedang berkendara di sebuah kawasan di Cibubur. Berita yang langsung membuat terhenyak, nyesek, dan menangis, seraya terus mendoakan dan mengenangkannya. 

Seorang relawan kemanusiaan sejati yang periang, cekatan, berhati baik dan saleh telah menghadap rabNya. Semoga Allah SWT menerima segala amal baiknya dan menempatkannya di tempat terbaik di sisiNya.

Ribuan masyarakat Kota Aleppo yang mengenalnya menangisi kepergian pemuda lajang berusia 25 tahun itu. Pemuda yang senantiasa hadir mengisi hari-hari para pengungsi dengan membawakan berbagai bantuan pangan, obat, dan kasih sayangnya, telah tiada, menghadap ke haribaanNya. 

Beberapa ulama besar di Timur Tengah memberitakan kepergiannya, menceritakan keteladanannya, mengabarkan kebaikannya, serta mendoakannya semoga relawan kemanusiaan yang selalu berupaya membantu orang lain dengan hati ikhlas itu di terima di tempat terbaik disisi Allah SWT dan diberikan jannahNnya.

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya “. (QS Al Baqarah ayat 154)

Kadang terbayang, mengenangkan ketika almarhum bercerita tentang kondisi Suriah yang hancur lebur akibat peperangan yang berkepanjangan. Tentang betapa banyaknya jiwa manusia yang mati, anak-anak yang kehilangan bapak ibunya, bocah bocah yang menjadi cacat seumur hidup, dan jutaan orang yang akhirnya harus hidup mengungsi, meninggalkan kampung halamannya, terlunta lunta di negeri-negeri yang jauh dan asing demi menghindari asap mesiu kematian.

Hamza tetap Hamza. Walau kondisi sulit, pemuda ini selalu optimistis menatap masa depan dan tetap menggantungkan cita-cita menjadi ilmuwan dan doktor bidang bioteknologi. “Brother” katanya..”Insyaallah kelak suatu hari nanti, saya ingin ke Jakarta dan Kota Bandung untuk berdiskusi tentang ilmu Biotek dengan para ahli di  Indonesia”. Namun kematian terjadi kapan saja, dimana saja, dan dengan cara apa saja.. memupus semua asa..

Sesekali kadang suka membuka Facebook untuk melihat kembali komunikasi terakhir dengan Hamza. Terakhir kami berkomunikasi pada tanggal 27 Juni 2014, pesan dari Hamza : “We miss you too Sir, hope to meet again Enshaalla”

Semoga Indonesia kita senantiasa dalam keadaan aman, damai, dan terhindar dari kekejaman perang. Aamiin.

 

 

 
Berita Terpopuler