Perda Syariah, Betawi, dan Kepalsuan Media Sosial

Petugas Satpol PP merazia sejumlah gelandangan dan pengemis di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Jumat (5/7). (Republika/Yasin Habibi)
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, ‘’Perut saya terasa mual..!’’ Pernyataan ini terlontar dalam perbincangan mengenai isu umat Islam terkini dengan pakar sufisme dan Guru Besar Universitas Paramadina Prof DR Abdul Hadi WM. Bagi yang kenal dekat dengannya, tentu saja terkejut. Jarang sekali penyair yang menjadi pengggas kebangkitan sastra Islami (profetik) yang ramai dibincangkan pada tahun 1970-an, bicara ‘sekeras’ ini.

‘’Apalagi bila menonton perbincangan di media telivisi atau mengikuti arus berita di media sosial. Saya merasa muak dan merasa keadaan negara ini kemunduran serius,’’ katanya lagi.

Dalam perbincangan kali ini Abdul Hadi melihat betapa suasana negara semakin tanpa tertatih-tatih. Di tengah melambungnya harga bahan makanan selama Ramadhan dan munculnya angka defisit negara hingga Rp 183 triliun, peneriman pajak yang hanya Rp 28 persen meski tahun anggaran sudah berjalan separoh, pada saat yang sama di dalam tubuh umat Islam terjadi perpecahan serius.

‘’Entah mengapa ajaran agama ini diolok-olok. Situasinya malah lebih parah dari 1965.Kini mereka yang terpelajar sekaligus masih mengaku beragama Islam, malah ikut sibuk merendahkan agamanya. Mereka me-//bully// apa saja yang terkesan  berbau ajaran Islam sebagai hal kuno dan ketinggalan zaman,’’ katanya.

Uniknya, ketika pengamatan Abdul Hadi tersebut dimuat di Republik.co.id publik –khusunya umat Islam, seperti tersengat hebat. Apalagi ketika kemudian dia menyerukan agar para cendekiawan Muslim segera mengambil sikap atas munculnya agenda seting menyudutkan posisi umat. Segera saja pernyataan dia menjadi ‘viral’ yang tersebar di kalangan tokoh umat Islam. Tak sampai dua jam, pembaca beritanya (viewer) mencapai lebih
dari 20 ribu orang.

‘’Soal Perda Syariah itu misalnya, kini dituduhkan itu dibuat oleh kalangan Islam. Padahal faktanya jelas perda itu justru didorong atau di-endorse oleh partai ‘nasionalis’. Contohnya pada kasus Warteg di Serang itu.  Yang berkuasa dan membuat perda itu adalah pihak partai yang berkuasa di sana, yakni partai Golkar. Bahkan, kini gubernurnya dari PDI Perjuangan,’’ ujarnya.

Meliahat situasi itulah, maka Abdul Hadi kemudian menyimpulkan adanya agenda seting dari media sosial untuk menyudutkan umat Islam.

’’Tangan itu memang tak terlihat, tapi saya merasakannya,’’ tegasnya.

Tak hanya menyebut soal agenda seting, Abdul Hadi kemudian mencotohkan salah satu sosok  masyarakat yang paling terkena dampak sikap pejoratif terhadap ajaran Islam. Dalam hal ini dia kemudian menunjuk pada sosok masyarakat dan budaya Betawi yang kini terasing di tanahnya sendiri.

‘Mereka dahulu aman, nyaman, dan tentram menjalankan budaya dan ajaran agamanya, yakni agama Islam. Namun, tiba-tiba karena situasi zaman yang berubah dia kesulitan menjalankannya karena datang ‘orang  lain’ di tanah Betawi. Celakanya si pendatang itu tak menghormati atau menganggap penting budaya dan kepercayaan yang punya kampung. Karena mereka jumlahnya sanga banyak dan tak ada yang melindungi, maka Betawi pun tersingkir,’’ katanya.

Maka, Jakarta yang sebenarnya kampungnya orang Betawi berubah total. Semakin hari jejak pemiliknya sama sekali tak tampak. Jakarta melupakan asal usulnya.

“Anehnya, ketika kini masih terdengar suara adzan atau orang mengaji, maka itu malah akan dilarang. Padahal dari dulu Jakarta ya seperti itu. Orang asli itulah yang justru harus menyesuaikan ‘seleranya’ oleh kaum pendatang. Ini jelas tidak adil bukan?,’’ katanya.

Dalam banyak kesempatan, budayawan Radhar Pancadahana pun kerapkali mempersoalkan agenda seting yang kini banyak membaluri media, terutama media massa sosial.

Saking jengkelnya, Radhar ketika beberapa waktu lalu berdiskusi di Gedung Parlemen menyatakan: Kalau saya jadi presiden maka saya akan tutup media sosial!

Radhar menyatakan, saat ini Indonesia sangat butuh konsensus. Politik hingga pembentukan sistem nilai juga butuh konsensus. Namun, konsensus itu tidak bisa didapat dengan mengandalkan sikap atau pendapat media sosial.

‘’Media sosial adalah cermin dari sikap kebebasan berpendapat yang mutlak. Padahal sebenarnya di alam nyata tak ada kekebasan yang seperti itu. Akibatnya,  terjadilah sebuah situasi ‘ketiadaan konsensus’ yang ujungnya kemudian menghancurkan adanya acuan,’’ kata Radhar.

Akibat kehancuran acuan itu, maka apa yang disebut etika atau moralitas tak ada lagi.

’’Apa yang disebut beradab, bermoral, santun, baik dan buruk, pun menghilang. Setiap orang mengacu pada dirinya sendiri saja atas nama mitos kebebasan,’’ tegasnya.

Dan setelah itu terjadi, maka apa yang disebut budaya dan peradaban Indonesia akan mengalami kematian. Kalau pun kemudian masih ada, maka yang muncul adalah sisa-sia budaya dan peradaban Indonesia yang rendah mutunya.

“Kalau tak ada yang sadar mencegah proses kehancuran akibat munculnya teknologi komunikasi, informasi, dan komputasi (munculnya dunia virtual),  maka nantinya budaya Indonesia yang muncul hanyalah budaya anomali yang itu sifatnya destruktif, tidak humanis, kriminal, dan koruptif. Dan tanda-tandanya sudah terlihat jelas di depan mata. Media sosial salah satu penyebabnya,’’ katanya.

Radhar kemudian meminta semua pihak merenungkan kembali mengenai apa yang didapat dari revolusi melalui media sosial: yang terkenal dengan sebutan Arab Spring. Faktanya, karena tetap gagal mencapai konsensus  maka negara seperti Libya, Tunisia, dan Mesir malah menjadi hancur berantakan.

Di Mesir misalnya, kondisi negaraa tak kunjung membaik dan malah memunculkan rezim diktator militer yang dulu dislogankan di berbagai media sosial akan dihilangkan. Di Libya muncul perang saudara yang seolah tak ada habisnya.

 
Berita Terpopuler