Mencegah Bencana Kemanusiaan

ROL/Sadly Rachman
KH Didin Hafidhuddin
Red: Damanhuri Zuhri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Didin Hafidhuddin

JAKARTA -- Sebagaimana telah sama-sama kita ketahui bahwa lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang kini semakin marak terjadi, apalagi ada orang, organisasi serta negara yang mendukungnya, telah mengundang keprihatinan dan kegalauan kita semua.

Terutama para pejabat, tokoh masyarakat, alim ulama, guru, da’i, orang tua, serta pihak-pihak lain yang peduli terhadap akhlak dan moral bangsa.

Sepekan yang lalu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menegaskan bahaya kampanye LGBT telah menyebabkan ribuan anak di Indonesia terkena imbasnya.

Menteri Yohana mengingatkan para orang tua dan guru di sekolah untuk selalu mengawasi pergaulan anak. Dia juga berharap para pelaku penyuka sesama jenis agar memiliki kemauan untuk sembuh dan bukan malah berkampanye kebebasan LGBT.

Dia menambahkan, kampanye LGBT tak lepas dari penetrasi nilai-nilai asing ke Tanah Air. Indonesia sendiri merujuk pada Undang-Undang Perkawinan hanya melegalkan perkawinan beda jenis kelamin.

Sebelum era globalisasi dan teknologi informasi merambat ke seluruh dunia, tidak pernah terbayangkan LGBT berkembang di negara kita yang berpenduduk mayoritas umat Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyebaran LGBT secara sistematis tidak lepas dari konspirasi asing untuk mengaburkan kepribadian suatu bangsa dan menariknya ke dalam pusaran budaya global yang dibangun di atas pandangan hidup sekuler.

Saat ini, fenomena LGBT kian meresahkan masyarakat. Beberapa kasus pembunuhan terjadi terkait dengan perilaku LGBT. Bangsa Indonesia sedang mengalami perubahan nilai-nilai sosial yang luar biasa dalam dekade terakhir.

Kehadiran internet memberi dampak pada wilayah privasi. Bayangkan, jika pada masa lalu ada orang yang mengalami kelainan orientasi seksual, dia akan malu menyatakan diri di muka umum, sekarang menuntut untuk diakui dan bahkan mengampanyekannya.

Fenomena LGBT apabila ditoleransi dikhawatirkan bisa menggeser norma-norma kehidupan, suatu perilaku yang keji akan dianggap lumrah karena terus menjamur di masyarakat.

Pandangan kaum Liberal yang mengatakan LGBT bukan ancaman adalah suatu kekacauan berpikir. Harian umum Republika edisi 24 Januari 2016 mengangkat isu LGBT menjadi judul berita di halaman utama, yaitu LGBT Ancaman Serius, seluruh elemen masyarakat diingatkan agar bergandeng tangan untuk mencegah berkembangnya gaya hidup LGBT di Indonesia.


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para orang tua dan guru diingatkan untuk lebih peka terhadap perkembangan anak sebab gaya hidup LGBT sudah mulai mengancam anak-anak. Pemberitaan tersebut mendapat somasi dari organisasi pendukung LGBT.

Dalam waktu bersamaan, tujuh pejabat negara dituntut oleh organisasi LGBT karena memberikan penolakan atas gerakan LGBT.

Hal ini menggambarkan betapa gerakan LGBT menjadi persoalan serius umat Islam dan bangsa Indonesia, di samping masalah narkoba, terorisme, dan aliran-aliran sesat yang selalu muncul atau dimunculkan di Tanah Air kita.

Menghadapi fenomena LGBT, masyarakat sangat berharap peran pemerintah untuk mencegah perkembangannya agar tidak membawa kerusakan lebih parah dalam kehidupan bangsa.

Pemerintah merupakan institusi yang punya kewenangan untuk melarang atau membolehkan suatu organisasi, kewenangan memblokir situs internet yang mempropagandakan LGBT, dan sebagainya.

Konon, Rusia yang selama ini dikenal sebagai negara ateis justru memiliki undang-undang anti-gay yang melarang propaganda homoseksualitas di negara tersebut.

Pemerintah tidak boleh menoleransi organisasi atau komunitas yang memperjuangkan hak-hak LGBT karena akan memiliki dampak luar biasa di masyarakat dan berarti membiarkan pelanggaran terhadap dasar negara, terutama Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Kita tidak boleh bersikap seperti digambarkan dalam cerita burung unta yang menyembunyikan kepalanya di bawah tumpukan pasir untuk menghindari bahaya angin badai di Gurun Sahara.


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendapat pakar hukum tata negara dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI Prof Mahmud MD sangat tepat bahwa LGBT sebagai gerakan yang diorganisasi harus dilarang di negara kita, tapi LGBT sebagai penyakit harus dibantu dan yang terkena LGBT harus diselamatkan.

Menurut Mahfud, sama dengan problem sosial lainnya, LGBT perlu ditertibkan oleh negara sesuai dengan hukum dan konstitusi. Para pendukung LGBT tidak tepat menggunakan dalih hak asasi manusia (HAM) untuk memperjuangkan hak-haknya.

Dalam sistem negara demokrasi tidak boleh ada tirani minoritas karena setiap orang atau perkumpulan orang harus menghormati hak-hak orang lain yang berbeda. Untuk itu, marilah kita cegah bencana kemanusiaan yang bakal terjadi akibat menjamurnya LGBT di Tanah Air kita.

LGBT sangat membahayakan kehidupan beragama, ketahanan keluarga, dan budaya bangsa. LGBT bertentangan dengan ajaran Islam dan ajaran semua agama. LGBT bertolak belakang dengan kepribadian dan budaya bangsa Indonesia.

Mayoritas masyarakat Indonesia menolak legalisasi LGBT. Organisasi umat, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4), dan lainnya, telah menyampaikan pernyataan sikap menolak legalisasi komunitas LGBT serta menyarankan rehabilitasi terhadap mereka yang mengalami orientasi seksual menyimpang dari fitrah kemanusiaan.


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring dengan itu, kita berharap kepala negara dan kementerian terkait, yaitu Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta pemerintah daerah seluruh Indonesia memiliki sikap tegas dan melakukan langkah konkret untuk membendung dan mengatasi merebaknya fenomena LGBT sebelum terlambat.

Pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada 2007 yang menyerukan semangat antidiskriminasi terhadap komunitas LGBT, secara tersirat menggambarkan betapa LGBT menjadi ancaman bahaya serius bangsa-bangsa yang beragama.

Kita tahu tuntutan legalisasi pernikahan sesama jenis merupakan salah satu agenda perjuangan kaum gay dan lesbi di dunia dewasa ini, termasuk di Indonesia.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberi tempat bagi perkawinan sesama jenis. Oleh karena itu, kita wajib mewaspadai setiap upaya untuk mengamendemen UU Perkawinan atau uji materi UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi dengan memasukkan materi legalisasi perkawinan sesama jenis.

Pemerintah tidak boleh lemah dan ragu menghadapi gerakan para pendukung LGBT. Perlakuan semena-mena terhadap para pelaku LGBT memang tidak dibenarkan, tetapi bukan berarti membela mereka untuk mendapatkan hak-haknya secara salah dan keliru.

Para ahli psikologi Islam mengatakan, LGBT tetap merupakan sebuah penyakit dan perlu penyembuhan. Menurut Prof Dadang Hawari dalam buku Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual, penyakit homo/lesbi bisa diobati.


REPUBLIKA. CO.ID, JAKARTA -- Kasus homoseksual tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi melalui proses perkembangan psikoseksual seseorang, terutama faktor pendidikan keluarga di rumah dan pergaulan sosial.

Homoseksual dapat dicegah dan diubah orientasi seksualnya sehingga seorang yang semula homoseksual dapat hidup wajar lagi (heteroseksual).

Dalam ajaran Islam, indentitas diri laki-laki dan perempuan serta hubungan perkawinan antara laki-laki dan perempuan merupakan hukum Allah. Perkawinan bukan sesuatu yang dibentuk secara sosial-budaya seperti dipahami kaum LGBT dan pendukungnya.

Alquran mengangkat kisah masa lalu berupa pelajaran dari kisah kaum Sodom pada zaman Nabi Luth. Kaum Sodom yang dijangkiti budaya homoseksual secara masif pada akhirnya dibinasakan sesuai hukum Ilahi untuk mencegah kerusakan, yaitu bencana kemanusiaan di muka bumi.

Bangsa manapun pada abad modern ini yang membiarkan tumbuh suburnya perilaku homoseksual atau LGBT sama artinya dengan mengundang azab Allah SWT.

Mungkin tidak dalam bentuk azab yang sangat mengerikan dan menghinakan seperti yang ditimpakan kepada kaum Sodom pada masa silam, tapi bisa azab dalam bentuk yang lain yang tidak kalah dahsyat dan beratnya. Na’udzubillah. Wallahu a’lam bis shawab.

 
Berita Terpopuler