Riwayat Kalijodo dari Masa ke Masa

Republika/ Wihdan
Aktifitas warga usai pemasangan surat sosialisasi pertama penertiban Kalijodo, Jakarta, Senin (15/2). (Republika Wihdan)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Nama Kali Jodo di Kelurahan Angke, Jakarta Barat, sudah ada sebelum menjadi tempat lokalisasi wanita tuna susila (WTS) atau sekarang pekerja seks komersil (PSK). Sejak terjadi perkelahian antargeng dan pembakaran rumah beberapa tahun lalu, pihak kepolisian meminta agar lokalisasi tersebut ditutup.

Kali Jodo pernah diusulkan untuk dijadikan tempat kegiatan keagamaan, seperti yang telah dilakukan di Kramat Tunggak, Jakarta Utara, dengan dibangunnya Islamic Centre. Masyarakat mendukung dan tengah menunggu bila tempat maksiat tersebut dijadikan pusat kegiatan keagamaan.

Di masa Gubernur Sutiyoso, juga ada rencana untuk menjadikan tempat lokalisasi Boker, di Cijantung, Jakarta Selatan, menjadi Islamic Centre.

Orang Jakarta sejak tempo doeloe menamakan suatu tempat berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi. Mungkin di kali ini dulu seringkali para gadis dan pria berpacaran dan berakhir dengan perjodohan.

Dulu di kali ini tiap tahun diselenggarakan pesta Peh Coen Hare ke-100 Imlek (tahun baru Cina). Pesta ini menarik para muda-muda yang ingin menyaksikan beragam keramaian, seperti barongsai dan pesta ngibing diiringi gambang keromong. Banyak taipan yang menjadi sponsornya.

Pusat Perdagangan Harco di Glodok, Jakarta Barat, baru dibangun pada masa Orde Baru, saat Indonesia membuka diri di bidang ekonomi, sehingga banyak berdatangan modal asing. Sedangkan pada masa Bung Karno, Indonesia memegang prinsip berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi.

Begitu meriahnya pembeli yang mendatangi pusat perdagangan elektronik itu hingga namanya dikenal di mancanegara. Pusat perdagangan Harco dibangun 1970-an bersamaan dengan pusat perdagangan dengan nama serupa di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Pemborongnya H Abubakar Bahfen, seorang keturunan Arab.

Sebelumnya, pusat elektronik Harco merupakan bagian dari Markas Polisi Seksi II, semacam Polsek sekarang. Banyak pejuang kemerdekaan yang mendekam di penjara polisi ini, karena menentang pemerintah kolonial.

Salah satu pahlawan yang sempat merasakannya adalah Drs Muhammad Hatta yang dipenjarakan pada 1934 karena kegiatan politiknya. Kemudian sang proklamator ini dibuang ke Boven Digul yang merupakan pusat konsentrasi tahanan politik dan dikenal sebagai sarang malaria.


Di pusat perbelanjaan ini dahulu terdapat Bioskop Orion yang memutar film-film Mandarin dari Hongkong. Penontonnya kebanyakan warga keturunan Cina.

Di dekatnya di jalan yang sama (Jalan Hayam Wuruk) terdapat tempat hiburan Thalia yang memutar opera-opera Stambul (dari kata Istanbul di Turki).

Di seberangnya ada Jalan Gajah Mada. Di sini terdapat bekas kediaman Mayor Cina, Khouw Kim An, yang dulunya merupakan gedung paling indah di Jakarta Kota. Kini bangunan itu dihimpit gedung bertingkat 30 yang dibangun Modern Group.

Rumah bergaya negeri leluhur ini punya puluhan kamar. Karena, ia memiliki banyak istri dan selir, yang hidup dalam satu gedung. Kebiasaan yang dianggap umum kala itu.
          
Di dekat stasiun kereta api BEOS, Jakarta Kota, seberang Gereja Portugis (Sion), terdapat jembatan Jassem (kini Jembatan Batu). Pada tempo doeloe masyarakat sering menyaksikan pesta-pesta meriah di sekitar jembatan ini.

Seperti saat pelantikan kapiten Cina ke-12 Lim Bengko pada masa Gubernur Jenderal Van der Parra (1771-1775). Pawai besar diikuti musik, barongsai, nyanyian, dan tarian, yang diikuti ratusan pengarak, dimulai dari jembatan ini keliling Jakarta Kota.


Masih di kawasan Glodok, terdapat Jalan Jie Lak Keng. Orang menyebutnya Jalan Jelakeng, artinya tempat nomor 26.

Di sini ada perkumpulan silat Pa Te Koan yang artinya delapan pendekar. Ketika terjadi pembantaian orang-orang Cina (1740), banyak suhu (guru) tewas melawan Belanda. Maka, di dekatnya ada Kampung Pa Tie Kei (delapan jenazah).

Ada juga yang mengatakan Pa Te Koan berarti delapan teko. Karena, istri seorang kapiten Cina yang dermawan setiap hari menyediakan delapan teko teh di depan kediamannya untuk mereka yang lewat. Ketika itu daerah ini masih sepi, belum ada yang menjual makanan dan minuman.

Terletak di sebelah kiri Jalan Pangeran Jayakarta, kurang lebih satu kilometer dari Stasion Beos terdapat Jalan Taruna, jalan sempit yang tidak dapat dilalui kendaraan bermotor. Dulu jalan ini bernama Jalan Souw Beng Kong, nama Kapiten Cina pertama yang dimakamkan di sini. Dia diangkat oleh Gubernur Jenderal JP Coen pada 1619 setelah hijrah ke Batavia dari Banten.

Kini makam tersebut hanya tinggal batu nisannya. Karena, seluruh bagian makam itu sudah menyatu dengan rumah penduduk.

Sampai pertengahan 1960-an di tiga RT di kawasan ini seluruhnya merupakan tempat pemakaman orang-orang Cina. Ia pernah membangun sebuah wisma mewah di dekat kastil (benteng) di Prinsenstraat (kini Jalan Cengkeh) Pasar Ikan, Jakarta Utara.

Kaum Cina perantauan (hoakiau) pada umumnya bangga menjadi ahli waris kebudayaan leluhurnya.

Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew yang dianggap sebagai bapak bangsa Singapura pernah mengemukakan, "Adalah Konfusionisme yang menjalin persatuan dalam keluarga, yang pada gilirannya membesarkan anak cucunya menjadi cendekiawan yang tangguh, tahan banting dalam menghadapi tantangan. Kita adalah contoh hidup dari rakyat Cina, yang berkat ilham dan kebudayaan Cina, maka dapat berprestasi gemilang."

 
Berita Terpopuler