Permisif Elite Politik dan Mundurnya Peradaban Indonesia

Republika/Agung Supriyanto
Ubedilah Badrun
Red: M Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ubedilah Badrun (Pengajar Sosiologi Politik UNJ & Ketua Laboratorium Sosiologi UNJ)

Liberalisasi politik di Indonesia yang hadir belakangan sejak 2004 membuka banyak kemungkinan perilaku elite politik dengan beragam variasi dan kompleksitasnya. Di antara kompleksitas perilaku elite politik baru di tengah liberalisasi politik ini adalah perilaku permisif.

Sungguh miris menonton perilaku mereka. Dengan mata telanjang, kita dipertontonkan perilaku permisif elite politik negeri ini. Bahkan, ada yang menolak satu perilaku permisif, tetapi menumbuhsuburkan perilaku permisif lainnya.

Misalnya, ditemukan pada kalimat yang dikonstruksi seperti ini: "Presiden, Wapres, anggota DPR, atau menteri melabrak aturan tidak apa-apa yang penting tidak korupsi!" Ini nalar permisif yang berbahaya bagi eksistensi negara modern.

Pada satu sisi, benar karena menolak korupsi, tetapi pada sisi yang lain membolehkan melabrak atau melanggar aturan adalah sebuah kesesatan nalar. Dalam konteks ini, ada nalar permisif elite politik kita yang patut diurai.

Permisivisme dan Nalar Permisif

Permisivisme lahir karena nalar permisif yang tumbuh subur dalam episode sosial tertentu dan tumbuh subur pada episode liberal dan modern. Pada giliranya ketika nalar permisif tumbuh subur pada taraf tertentu, akan membentuk masyarakat permisif (permissive society), masyarakat yang serbamembolehkan.

Permisivisme dimaknai sebagai pandangan, sikap, dan pendirian yang meyakini bahwa segala cara hidup, perilaku, perbuatan juga yang melanggar prinsip, melanggar norma, melanggar aturan boleh saja dilakukan.

Dalam masyarakat permisif orang berbuat apa saja boleh. Masyarakat yang serbaboleh ini oleh Roderic C. Meredith (1998) digambarkan sebagai curse of western society (kutukan masyarakat barat). Permissive Society, menurut Roderic, tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth). Tentu saja, pandangan ini membuat kehidupan sosial ataupun bernegara kehilangan panduan.

Nalar permisif yang kemudian membentuk perilaku permisif telah melahirkan kehidupan sosial yang kehilangan semacam kualitas hidup bersama. Ketenangan, kebahagiaan hidup, keteraturan hidup bersama (social order) dalam sebuah masyarakat permisif tidak hanya sebuah mimpi, tetapi sebuah ilusi.

Masyarakat permisif pernah ada pada episode amazigh atau orang bebas (free man) barbarian pada abad ke 5 (467 M). Jika pada abad ke-21 ini di Indonesia tumbuh subur permisivisme, kita sesungguhnya dalam perspektif peradaban sedang berjalan mundur ratusan tahun, seperti kembali ke abad ke-5, tetapi dengan simbol dan perwajahan baru.

Nalar permisif dan permisivisme adalah rangkaian yang saling terkait yang saling memberi kontribusi bagi lahirnya masyarakat permisif. Tidak ada masyarakat permisif tanpa nalar permisif. Dalam konteks politik, ketika nalar permisif telah melekat pada elite politik kita, ini adalah indikator berbahaya bagi eksistensi sebuah bangsa.

Thomas Lickona (1991) mengingatkan tentang faktor permisivisme dan kaburnya panduan moral (hilangnya keyakinan terhadap eternal truth) sebagai faktor hancurnya sebuah negara.

Nalar permisif elite di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu, tetapi semakin masif dan dengan variasi yang mengerikan terjadi sejak liberalisasi politik tahun 2004 hingga 2016 ini. Pasca-Pemilu 2014, nalar permisif menyebar pada dua kutub, kutub rakyat dan kutub elite politik.

Rakyat mulai kehilangan nalar kritisnya sehingga permisivisme menjadi semacam pilihan yang mengkerangkeng nalarnya. Sopan santun berbahasa tidak lagi diindahkan, bahasa-bahasa sarkasme menjadi populer dan bebas tersebar melalui media sosial.

Nalar kritis dikalahkan oleh sarkasme permisivisme. Orang-orang terpelajar kaum intelektual yang mengkritik pemerintah berbasis data dirundung dengan sarkasme bahasa, dan kemudian dikonstruksi bahwa kebenaran ada pada dominasi sarkasme.

Kaum intelektual kemudian melipir kembali berada di menara gading kampus yang sibuk dengan dirinya dan membiarkan kesalahkaprahan mengelola masyarakat dan mengelola negara. Sebuah permisivisme bahasa dan nalar permisif yang memprihatinkan.

Nalar permisif elite politik saat ini tumbuh subur. Mereka membangun nalar permisifnya yang diyakini sebagai cara hidupnya menyesuaikan dengan keadaan. Di antara nalar permisif elite politik kita, misalnya, terlihat pada kalimat-kalimat berikut:

Pertanyaannya adalah mengapa seolah ada pembiaran terhadap nalar permisif elite ini? Sebabnya sangat kompleks. Sebagai negara, kita melangkah terlalu jauh meninggalkan ideologinya, sebagai elite telah melangkah terlalu jauh meninggalkan janji-janjinya, sebagai rakyat kita melangkah terlalu cuek dengan semua nalar permisif yang tumbuah subur di antara elite dan rakyat.

Kampanye manifes LGBT adalah wajah yang terlalu terang dari permisivisme publik. Efek lanjut dari nalar permisif ini adalah ada semacam "inersia sosial" di tengah masyarakat kita. Sebuah keadaan sosial yang sakit, tetapi tidak merasa sakit, ketika situasi sosial mendekati ajal kematiannya baru tersadar saat itu, dan ketika itu sudah terlambat.

Dalam khazanah teori-teori sosial, situasi ini berbahaya bagi sebuah bangsa. Keitka permisivisme masih berada pada lapis dan episode rakyat, kita masih bisa berharap bahwa elite politik atau pemerintah bisa membenahi.

Namun, ketika permisivisme sudah memasuki lapis dan episode rakyat dan sekaligus elite, kita kesulitan berharap kepada siapa beban perbaikan bisa ditagih? Semoga elite bangsa ini segera tersadar bahwa tumbuh suburnya nalar permisif hanya akan mempercepat keruntuhan sebuah bangsa.

Kesadaran elite politik untuk mengakhiri nalar permisifnya dan memutus mata rantai nalar permisif adalah jalan penting yang perlu diambil dan sangat berarti, tidak hanya bagi kualitas demokrasi, tetapi juga bagi keberlanjutan negara Indonesia.

Bagi pribadi yang masih meyakini eternal truth, pengharapan kepada Yang Maha Abadi patut disandarkan. Sebab, pada titik itu akan membuka ruang bagi hadirnya optimisme sebagai anak bangsa.

 
Berita Terpopuler