Potret Kerukunan Muslim Keturunan Cina di Perayaan Imlek

Republika/Agung Supriyanto
Jamaah mendengarkan Khotbah Jumat di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta. Masjid yang berarsitektur khas etnis Cina ini banyak dikunjungi Muslim keturunan Tionghoa.
Rep: C26 Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketika seseorang pindah keyakinan atau agama bukan berarti harus memutuskan silaturahim dengan keluarga dan kerabat. Potret kerukunan keluarga berbeda akidah tercermin pada perayaan Tahun Baru Imlek.

Di Masjid Lautze 2 Bandung, Jawa Barat, yang menjadi tempat ibadah umat Muslim keturunan Cina, juga merayakan Imlek. Tapi tanpa sembahyang kepada leluhur atau dewa-dewa.

Humas Masjid Lautze 2, Jesslyn R (28 tahun) menjelaskan, tidak ada acara perayaan tahun baru seperti pada umumnya. Muslim Cina Bandung merayakan dengan saling bersilaturahim dengan keluarga dan kerabat yang masih memeluk agama Khonghucu atau agama lain.

Muslim keturunan Cina, kata Jesslyn tidak lagi beribadah di Klenteng di hari raya Imlek. Mereka hanya mendatangi keluarga, sanak saudara, dan teman-teman.

"Tentu kami (Muslim Cina) yang sudah berpindah keyakinan tidak boleh menjalani ritual sembahyang di Klenteng, karena bertentangan dengan akidah sekarang. Tapi juga nggak menghilangkan secara utuh karena ada sisi silaturahim yang bisa dijalani," kata Jesslyn kepada Republika.co.id, Jumat (5/2).

Ia menuturkan, Islam sangat menganjurkan silaturahim. Karenanya dengan bersilaturahim tradisi perayaan Imlek tetap dirasa dan tetap menjunjung nilai keislaman.


Menurut dia, yang tidak berubah pun pemberian angpao. Amplop merah berisikan uang biasa diberikan sebagai bentuk berbagi rizki seperti saat perayaan Idul Fitri. Meskipun tidak juga menyediakan makanan-makanan khas Imlek seperti dodol, jeruk mandarin, mi khas Cina, ataupun berbagai jenis manisan.

Lebih sederhana memang. Jesslyn menuturkan, tanpa ritual ataupun makanan khas, perayaan Imlek justru jauh lebih bermakna. Walaupun bagi Muslim keturunan Cina perayaan tersebut bukanlah lagi sebuah keharusan.

Ia menuturkan, beberapa keturunan Cina yang sudah lama memeluk Islam, perayaan Imlek sudah tidak lagi dijalankan. Karena, kata dia, memang bukan tradisi Islam.

Imlek bagi umat Muslim keturunan Cina, tidak lagi dilihat sebagai perayaan hari besar. Lebih pada silaturahim yang mempererat tali persaudaraan. Terutama pada mualaf yang baru mempelajari Islam dan masih terbiasa dengan tradisinya terdahulu.

"Kalau baru-baru masuk Islam tentu tidak bisa saklek langsung dilarang tradisi ini itu, karena sebelumnya mereka terbiasa begitu. Namun semakin ke sini perlahan bisa lebih mengerti," ujar perempuan yang mengucapkan syahadat pada 2003 itu.


Di Bandung, sejak 1997 sekitar 150 keturunan Cina mengucapkan dua kalimat syahadat. Jumlah umat Islam keturunan Cina pun kian bertambah di Bandung.

Ia mengaku bersyukur dengan semakin baiknya masyarakat terhadap keberadaan umat Muslim keturunan Cina. Jesslyn merawikan, awal-awal menjadi mualaf banyak yang memandang sinis. Bahkan hanya untuk masuk ke dalam masjid. Situasi itu berdampak pada kenyamanan mualaf yang bersemangat memperdalam Islam.

Isu negatif yang menyebut Islam agama radikal menurut dia, justru memancing warga Cina tertarik mempelajari ajaran rahmatan lil alamin tersebut.

Ia mengaku mendapatkan banyak pertanyaan dari saudara atau rekannya tentang wajah Islam yang digambarkan penuh kekerasan. Perempuan berkerudung itu menjawab, "Islam adalah kedamaian yang sesungguhnya. Bila tidak damai, itu bukan Islam yang sebenarnya."

 
Berita Terpopuler