Lima Alasan Mengapa ISIS Sulit Dikalahkan

Youtube
ISIS
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID,  Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah terus bertahan kendati mendapat serangan bertubi-tubi dari koalisi AS maupun kubu Rusia. Berulang kali, kedua pihak menggempur basis ISIS di Raqqa maupun daerah lain, tapi mereka tetap bertahan.

Negara terakhir yang menyatakan siap bertempur melawan ISIS adalah Jerman. Berlin siap terlibat dalam pertempuran melawan pemberontak ISIS dengan mengirimkan pesawat pengintai dan kapal tempur.

Lantas apakah ISIS akan hancur dengan beragam serangan tersebut? Tidak ada yang menjamin.Terdapat sejumlah alasan kenapa ISIS bisa bertahan.

1. ISIS Memanfaatkan Teknologi

ISIS menggencarkan rekrutmen melalui internet maupun jaringan informal. Pemberontak memiliki situs-situs yang digunakan untuk menggencarkan aksi propaganda mereka. ISIS juga aktif di media sosial.

Hal ini yang membuat pemberontak ISIS berbeda dengan gerakan-gerakan radikal sebelumnya. Mereka tak hanya fokus dari domestik, namun juga transnasional.

Tak sedikit warga Eropa hingga Asia yang bergabung dengan pemberontak. Aksi propaganda ISIS juga dibantu oleh sokongan dana yang cukup besar terutama dari penjualan minyak.

Media-media Barat menuding, propaganda ISIS memicu serangan lone wolves atau serangan sendiri tanpa ada komando dari pemberontak.  

REPUBLIKA.CO.ID, Kelompok ISIS memiliki sumber daya  minyak cukup besar dari wilayah-wilayah yang mereka kuasai di Irak dan Suriah. Financial Times dalam laporannnya bulan lalu menyebut ISIS meraih 1 juta dolar AS per hari dari penjualan minyak di pasar gelap.

Sejumlah pihak dituding terlibat dalam menampung minyak ISIS. Rusia menyebut keterkaitan pejabat Turki, sementara Amerika Serika menuding rezim Suriah Bashar al-Assad yang membeli minyak dari pemberontak.

Baca juga: Siapakah Pembeli Minyak ISIS?

Selain dari minyak ISIS juga memiliki pemasukan dari donator luar, pencuarian aset ekonomi, atau uang tebusan dari penculikan.

Uang-uang tersebut digunakan ISIS untuk menjalankan pemerintahan, merekrut dan membayar orang-orang dengan berkemampuan tinggi. Dengan sumber daya tersebut, ISIS dapat mempertahankan wilayah kekuasaannya yang mencapai seluas wilayah Belgia. 
 


REPUBLIKA.CO.ID, Ketika pertama kali terlibat dalam serangan di Suriah, Rusia mempertanyakan kenapa Barat sulit sekali mengalahkan ISIS. Muncul spekulasi adanya bias kepentingan di Suriah.

Barat secara sengaja memanfaatkan pemberontak untuk menghancurkan rezim al-Assad.  Barat dan sekutu yang dipimpin AS telah menegaskan tidak akan ada tempat bagi Presiden Assad untuk memimpin Suriah di masa datang.

Karena itu, mereka tidak mau bekerja sama dengan Assad maupun pendukungnnya Iran untuk menghancurkan ISIS kendati mereka memiliki agenda sama.

Di Irak, konflik kepentingan AS juga cukup terasa. Saat pembebasan Tikrit dari ISIS, Paman Sam tidak mau bekerja sama dengan milisi-milisi Syiah. Mereka hanya mau membantu dengan permintaan resmi dari Pemerintah Irak yang disokong Paman Sam.  



REPUBLIKA.CO.ID, Kendati koordinasi telah dilakukan negara-negara koalisi anti-ISIS, namun respons militer kerap kali tidak sasaran. Beberapa kali target yang disasar justru menghantam penduduk sipil maupun kelompok oposisi lain.

Hal itu tidak hanya dilakukan oleh koalisi AS, namun juga kubu Rusia.

Barat juga masih tidak selera terjun langsung dalam pertempuran melawan ISIS. Mereka hanya memanfaatkan kelompok oposisi-oposisi untuk bertempur. AS dan sekutu menyuplai senjata dan membantu lewat serangan udara.

Belakangan AS telah mengirimkan sejumlah personel pasukan dalam jumlah kecil ke Suriah. Pasukan tersebut ditugaskan untuk melatih milisi milisi anti-ISIS seperti dari kelompok Kurdi.  

Di Irak, AS juga hanya membantu melalui serangan udara dan memberikan pelatihan ke tentara Irak. Kendati, Menteri Pertahanan AS pernah menyebut gairah bertempur tentara Irak terlalu lemah untuk melawan pemberontak ISIS.


REPUBLIKA.CO.ID, Kasus ISIS mengeksploitasi rasa duka Sunni dapat dilihat dari jatuhnya Mosul di Irak pada Juni tahun lalu. Boleh dibilang tak sedikit kelompok Ba'athis dan kelompok Sunni lokal yang kecewa dengan pemerintahan Syiah Nuri al-Maliki. 

Maliki yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri dianggap terlalu diskriminatif terhadap minoritas Sunni.
Di Suriah, gerakan-gerakan antipemerintahan Barat yang dianggap kafir juga menjadi alat cukup ampuh untuk melakukan propaganda. 

ISIS melakukan doktrin perlawanan cukup kental. Sehingga kalaupun mereka berhasil dihancurkan, bukan berarti gerakan mereka akan mati.

 
Berita Terpopuler