Baca Peta Jalan Menuju Hidup Bahagia

Edwin Dwi Putranto/Republika
Berbuat baik pada orang lain bisa meningkatkan rasa bahagia dalam diri penolong.
Red: Agung Sasongko

Oleh: Muhbib Abdul Wahab  

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semua manusia pasti ingin hidup bahagia. Hanya saja tidak semua orang memahami hakikat hidup bahagia. Ada yang memaknainya sekadar hidup senang: sandang, pangan, dan papan berkecukupan atau banyak uang.

Ada pula yang mengartikannya hidup damai: bersosial, bekerja sama, tidak menyakiti dan membuat konflik dalam masyarakat. Islam memberikan resep bahagia tidak hanya fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah, tetapi juga terbebas dari siksa neraka.

Makna bahagia yang terangkum dalam doa "sapu jagat" itu menunjukkan bahwa bahagia itu berdimensi fisik-material dan mental-spiritual, serta berjangka pendek dan panjang.

Hakikat hidup bahagia, menurut Syekh Habib Al-Kazhimi, adalah memperoleh ridha Allah SWT dengan memahami dan mewujudkan tujuan penciptaan dan eksistensi manusia di dunia ini, yaitu beribadah kepada-Nya dalam arti luas.

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indikator sekaligus kiat-kiat meraih hidup bahagia dapat diukur dan diraih dengan memaknai lima peta jalan (road map) hidup bahagia. Karena, hidup bahagia itu tidak instan, tetapi perlu proses, usaha sungguh-sungguh, kesabaran, sekaligus menghendaki pendidikan hati.

Poros kebahagiaan itu berpangkal pada hati yang bersih dan mendapat "sinyal kuat" dari pencerahan spiritual karena kedekatan dan keintiman kita kepada Allah SWT. Lima peta jalan menuju hidup bahagia itu adalah sebagai berikut.

Pertama, berusaha untuk selalu hidup sesuai tuntunan syariat Islam, tidak menyalahinya, baik dalam hidup sebagai individu, bermasyarakat, maupun bernegara. Sistem ajaran Islam harus diyakini sebagai way of life yang dapat membahagiakan hidupnya. Tidak ada celah dan ruang dalam diri Muslim untuk meragukan syariat Islam.

"Siapa mencari agama (syariat) selain Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (QS Ali Imran [3]: 85). Orang yang merugi, berarti tidak bahagia dunia dan akhirat.

Kedua,  ta'allum (belajar), tadabbur (bermenung), dan tafakkur (berpikir). Manusia dikaruniai akal, antara lain, untuk belajar memahami dan menyelami hakikat eksistensinya agar hidupnya bermakna, bermenung agar dapat selalu berintrospeksi diri, dan berpikir agar dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

Hidup bahagia adalah hidup yang dijalani dengan senantiasa belajar, mengembangkan ilmu, memahami ayat-ayat Allah Alquran maupun dalam semesta raya. Dengan semua itu, Muslim tidak hanya meneladani sifat Allah, al-'Alim (Mahaberilmu), tapi juga memacu dirinya untuk meraih prestasi dan kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketiga, cita-cita yang luhur dan mulia. Hidup bahagia harus dilandasi cita-cita yang tinggi dan luhur sehingga terpacu dan termotivasi untuk semangat meraihnya dengan mengerahkan segala tenaga dan pemikiran. Muslim yang baik hidupnya senantiasa dijalani dengan penuh perjuangan meraih cita-cita mulia, tidak dengan kemalasan dan menggantungkan diri kepada orang lain.

"Janganlah engkau menjadi beban bagi orang lain." (HR At-Thabarani).

Keempat, pengendalian syahwat dan penyucian diri dari sifat-sifat tercela. Dalam diri manusia terdapat potensi negatif seperti "syahwat" menjadi kaya, "syahwat menjabat", "syahwat menguasai", dan sebagainya. Dalam diri manusia juga terdapat potensi untuk iri hati, dengki, riya, ujub, rakus, dan sebagainya.

Orang yang bahagia adalah orang terbebas dari syahwat dan sifat-sifat tercela sebab jika terjajah oleh sifat-sifat buruk ini, hidupnya selalu menderita, tidak pernah memperoleh kedamaian hati.

Kelima, berada dalam lingkungan yang baik. "Ada empat yang menyebabkan manusia hidup bahagia: istri/suami yang saleh, anak-anak yang berbakti, lingkungan pergaulan yang baik, dan rezeki yang diperoleh di negeri sendiri." (HR Ad-Dailami).

Meraih hidup bahagia harus dimulai dari kesucian hati masing-masing individu dalam hidup rumah tangga. Kekayaan materi tidak menjadi jaminan hidup bahagia. Yang sangat menentukan hidup bahagia adalah kekayaan hati.

Ikhlas, taat, cinta kepada Allah dan Rasul, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, selalu berdzikir kepada-Nya di waktu senang maupun di saat dukacita. Kekayaan hatilah yang membuat hidup ini bahagia.

 
Berita Terpopuler