Puro Pakualaman Istana Republik

Antara
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam (KGPAA) Sri Paduka Paku Alam IX yang juga Wakil Gubernur DIY (duduk, tengah)
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi yang pernah tinggal di Yogyakarta, tentu mengenal istana atau Puro Paku Alam. Meski letaknya tersamar dan tak menampilkan 'kemewahan modern', sisa kejayaan Istana Raja Pakualam masih terasa. Letaknya tak begitu jauh dari Malioboro dan Keraton Yogyakarta.

Bahkan, kesan sebagai sebuah tempat tinggal raja kini terasa pudar. Di lapangan terbuka yang ada di depan kediaman sang raja itu, sekarang malah disesaki berbagai tenda penjual makanan. Salah satunya yang sangat kondang sampai sekarang adalah gudeg Pakualaman. Meski penjualnya sudah turun-temurun, kerumunan penikmat gudeg masih menjejalinya sampai kios makanan itu tutup di larut malam.

Meski kini terkesan terlupakan, bagi Republik Indonesia peran Paku Alam meninggalkan sejarah yang sangat penting. Bersama Kesulatanan Yogyakarta, beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, kerajaan ini langsung menyatakan sebagai bagian Republik.

Tak cuma omong di atas kertas, Kraton Paku Alam kemudian ikut menjadi tumpuan berdirinya Republik. Peran ini nyata ketika kemudian ibu kota Republik diputuskan dipindahkan ke Yogyakarta sehubungan dengan suasana Jakarta yang makin tidak aman dengan datangnya bala tentara Inggris yang diam-diam disertai bala tentara Belanda.

Sama halnya dengan Sri Sultan Hamengku Buwono XI, Raja Paku Alam ke VIII, memberikan bantuan penuh kepada operasional pemerintahan Republik Indonesia. Bahkan, Sri Paku Alam saat itu bersedia berbagai tempat tinggal dengan menerima Presiden Sukarno beserta keluarganya tinggal bersama di kediamannya.

Jadi, tak terbayangkan, bila halaman luar istana itu, yakni di musim kemarau di kala dekat hari ulang tahun sang raja, kerap digelar pertandingan sepak bola mini antarkampung, dulu pernah jadi pusat perjuangan rakyat yang sangat penting.


Dari berbagai litelatur terlacak, bila setelah Proklamsi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, KGPAA Paku Alam VIII mengeluarkan amanat yang sangat penting bagi keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia . Isinya: Kadipaten Paku Alaman yang bersifat kerajaan adalah Daerah Keistimewaan dari Negara Republik Indonesia.

Selama kurun perang kemerdekaan 1945-1950, 'Dalem Puro Pakualaman' banyak dipakai tempat berlindung para gerilyawan dan tentara rakyat dalam aksinya melawan Belanda. Posisi Puro Pakualaman ini memang menjadi kian penting setelah ibu kota RI pindah ke Yogyaarta pada 14 Januari 1946 itu.

Kraton ini juga menjadi saksi bisu dari munculnya tokoh militer TNI yang legendaris mulai dari Kolonel Sudirman hingga Urip Sumohardjo, dan Gatot Subroto. Tentu saja selain dukungan moral dan material, raja Pakualaman juga memberikan dukungan pada soal pendanaan bagi keberadaan negara Republik Indonesia yang saatitu masih merupakan 'bayi merah’.

Jejak peran Paku Alaman dalam perjuangan kemerdekaan kini masih bisa dilihat misalnya ketika mendatangi museum Sasmita Loka yang letaknya di seberang atau tak jauh dari Puro Pakualaman. Di sana, di gedung yang bercat kelabu,  masih bisa dilihat aneka atribut dan peralatan perang gerilya, hingga replika tandu yang dulu ditumpangi Panglima Besar Jendral Sudirman ketika memimpin perang gerilya.

 

 
Berita Terpopuler