Bertamu ke Rumah Pengasingan Cut Nyak Dien

angga/republika
Rumah pengasingan Cut Nyak Dien di Sumedang.
Red: Angga Indrawan

Suatu hari di satu rumah tak jauh dari Masjid Agung Sumedang, lantunan ayat suci Alquran menggema dari pengajian rutin ibu-ibu warga sekitar. Rumah kecil dan sederhana itu dulu milik kediaman H Ilyas, salah satu tokoh terpandang di Sumedang. Siang di tahun 1906, sesuatu yang menggegerkan terjadi di sana.

Hanya karena seorang perempuan renta, tak sanggup berdiri dan rabun matanya. Pakaiannya lusuh, dan memang hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Samar-samar dari ruang keluarga di kediaman itu, ibu tua berkomentar tentang bunyi lantunan Alquran yang tak sesuai mahrajnya. Ia tidak keluar menghampiri pengajian yang berlangsung di ruang tamu. Ia hanya duduk di selasar ruang keluarga yang hanya berbatas anyaman bambu.

"Bacaan itu salah, aku bisa mendengar jelas kesalahannya," kata dia dalam bahasa yang tak pernah didengar sebelumnya oleh warga setempat.

Perempuan itu kemudian terpandang sesaat membenarkan bunyi yang seharusnya terucap. Ia lantas diketahui pandai mengajar ngaji, dan memang benar perempuan itu hafal seluruh ayat Alquran. Ia kemudian diminta untuk menjadi ustazah di daerah itu. Perempuan itu, kemudian dikenal dengan nama Ibu Prabu, atau kadang dipanggil dengan nama Ibu Suci.

Cerita itu disampaikan H Dadang, pemilik sekaligus penerus rumah sederhana itu. Perempuan tua itu adalah Cut Nyak Dien (1848-1908), salah satu pejuang kemerdekaan dari bumi Rencong, Aceh. Ibu Prabu yang cuma dikenang dari namanya. Tak banyak yang mengenal siapa wanita itu sebenarnya. Cut Nyak Dien hidup dalam pengasingan dan memang asing di Sumedang. Di tanah ini pula, pada 6 November 1908 Cut Nyak Dien menghembuskan napas terakhirnya.

Cut Nyak Dien diasingkan di usianya yang memasuki 58 tahun. Menurut cerita yang didapat Dadang turun temurun, Cut Nyak Dien diasingkan di sini atas permintaan Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suria Atmaja. Bupati tidak tega menempatkan wanita itu dalam penjara seperti yang diperintahkan Gubernur Hindia Belanda.

"Ia kemudian menjadi pejuang, pejuang dakwah," tuturnya.

Di halaman rumah tertancap plang "Bekas Rumah Tinggal Cut Nyak Dien". Rumah tinggal Cut Nyak Dien berada di daerah Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan. Bangunan ini, kata Dadang, masih mempertahankan bentuk aslinya meski sempat rata dengan tanah pasca gempa Tasik, 2009 silam.

"Ini," ujarnya sembari membawa beberapa perabot lama dalam sepiring putih. Ditunjuknya dua cangkir berwarna merah muda. Dan satu lagi cawan kecil yang ternyata tempat meletakkan beberapa daun Sirih. Dua benda itulah yang selalu menemani hari-hari Ibu Prabu.

Peninggalan itu disimpan dan dirawat rapi dalam lemari tua yang juga peninggalan H Ilyas. Selain itu, tak ada lagi peninggalan tersisa. Hanya beberapa baju peninggalan Neng Aisyah, istri dari H Ilyas yang katanya sempat dikenakan Cut Nyak Dien. Satu hal lagi yang dikenang keluarga ini tentangnya, Cut Nyak Dien tak sudi menggunakan barang yang merupakan pemberian Belanda.

Di ruang tamu, terdapat lukisan besar sosok sang pejuang. Lukisan terlihat tua lantaran warna piguranya yang sedikit memudar. Lukisan tersebut merupakan pemberian langsung dari Aceh, dari keturunan keluarga Cut Nyak Dien di sana.

"Kiriman dari H Mujamil, generasi ke-4 Cut Nyak Dien," ujarnya menjelaskan. 

Secara keseluruhan, bangunan ini merupakan bentuk baru setelah rumah ini sempat roboh dan rata dengan tanah pascagempa Tasik 2009 silam. Meski demikian, sempat diingat Dadang, ada sebagian lain yang masih dipertahankan. Seperti bilik pembatas antara ruang tamu dan keluarga, serta 18 pilar kayu Jati sebagai penyangga dasar rumah bermodel panggung tersebut.

"Satu senti pun tidak bergeser dari bangunan lamanya," kata Dadang meyakinkan.

Pahit getir didapat Dadang dalam mempertahankan rumah ini. Diceritakan, Dadang yang menanggung semua biaya sebagian besar rehabilitasi rumah pascagempa. Menurutnya, sebagian pihak berwenang terkesan lempar tangan atas penanggungan biaya rehab bangunan ini.

"Rp 130 juta," ujarnya. Dana itu didapatnya setelah ia dan istri, menjual rumah mereka lainnya. Dana lain dari pemerintah pusat dan bantuan dari pemerintah Aceh, sempat dihitungnya tak lebih dari Rp 20 juta.

Bergerak lima kilometer dari rumah bekas pengasingan, di sinilah peristirahatan terakhir Cut Nyak Dien. Lokasi pemakaman berada di komplek makam Gunung Puyuh, sebelah barat laut dari Masjid Agung Sumedang.

Nisan Cut Nyak Dien berbatu alam dengan ukiran sepasang rencong menyilang. Lokasi makamnya berada di ujung jalan di tengah komplek makam yang juga diisi para keturunan Pangeran Sumedang. Lokasi pemakam asri dalam komplek yang dibangun di atas sebuah bukit kecil di tengah kota.

Meski dikebumikan pada 6 November 1908, identitas tentang makam Cut Nyak Dien juga ternyata baru ditemukan pada 1959. Penemuan dilakukan atas permintaan Gurbenur Aceh saat itu, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan dari sejumlah dokumen Belanda.

Dalam dokumennya, pemerintah Belanda hanya menyebut ada hanya satu tahanan politik perempuan Aceh yang dikirim ke Sumedang. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa Ibu Prabu itu adalah adalah Cut Nyak Dien. Catatan itu tertuang dalam Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Disebutkan, bahwa Belanda mengasingkan seorang tahanan politik perempuan bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana (15 tahun).

"Sejak saat itulah perhatian begitu besar atas satu makam ini," ujar Haji Dadan, penjaga makam.

Makam Cut Nyak Dien beratap bangunan kayu layaknya makam-makam para pembesar. Konon, kata Dadan, bangunan pelindung ini didatangkan kayunya langsung dari Aceh. Makam Ibu Prabu dikelelilngi para kerabatnya, terutama keluarga yang disebut-sebut merawat Ibu Prabu di sisa hayatnya.

"KH Sanusi beserta istri, serta Siti Khodijah yang selalu setia mendampinginya," kata Dadan menambahkan sambil menunjuk beberapa nisan yang tak jauh dari makam Cut Nyak Dien.

Pemakaman selalu ramai biasanya tiap akhir pekan. Para peziarah, juga tak jarang yang datang dari Aceh dan berbagai wilayah lainnya di Nusantara. Di atas nisan ini, selalu teriring doa di sela-sela tabur bunga kepada sang pahlawan.

 
Berita Terpopuler