Kenangan dan Sekelumit Kisah Bang Buyung Naik Haji

Adnan Buyung Nasution
Red: Maman Sudiaman

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: TM. Luthfi Yazid*

Ada satu sisi yang hampir tak pernah dibahas  tentang Adnan Buyung Nasution (ABN) atau Bang Buyung yakni bagaimana perjalanan spiritual beliau terutama saat beliau naik haji pada tahun 1994. Wafaatnya Adnan Buyung Nasution (ABN) pejuang hukum dan tokoh besar di republik ini --di saat-saat jamaah haji dari seluruh dunia sedang  berkumpul di padang Arafah-- mengingatkan percakapan berdua saya dengan  Bang Buyung.

Waktu itu  awal bulan Mei 1994 menjelang musim haji tahun 1994 di Jalan Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat. Saya yang waktu itu belum lulus kuliah dan menjadi “asisten pribadi” beliau terhitung sejak saya menemui beliau tanggal 17 September 1993 di kantornya.  Bang Buyung tiba-tiba  panggil saya ke kamar kerjanya. Beliau berkata:” Luthfi, coba kau hubungi Dr. Anwar Haryono di Dewan Dakwah Islam Indonesia/DDII. Ini katanya ada pemberangkatan haji ‘gratis’ bersama-sama HR Darsono, Hoegeng, AM Fatwa dll” demikian Buyung meminta tolong saya dengan bahasa yang bersahabat.

Dengan segera dan patuh saya menghubungi Dr Anwar Haryono (alm) yang saat itu menjadi ketua DDII. Pertama saya memperkenalkan diri saya dan menyampaikan pesan  Bang Buyung. Tanpa banyak kalam, beliau langsung berpesan agar keesokan harinya Bang Buyung berkumpul di Mesjid Al A’raf, Kwitang, Jakarta Pusat di tempat toko buku milik Haji Mas Agung untuk membicarakan tentang rencana keberangkatan haji dimaksud. Tentu saja saya sangat senang dengan tugas ini sebab ini adalah ibadah dan  mereka yang akan berangkat haji bersama Bang Buyung adalah para tokoh terkemuka yang sangat disegani oleh rezim Orde Baru saat itu, mereka adalah para Tokoh Petisi 50.

Beberapa hari setelah itu, Bang Buyung meminta saya mencarikan penceramah untuk acara slametan sebelum pemberangkatan haji beliau. Bang Buyung akan berangkat haji bersama isteri beliau (biasa dipanggil Kak Ria yang nama aslinya Sabariah). Dari diskusi tentang siapa yang dianggap pas dan akan diminta menjadi penceramah, diputuskanlah nama Emha Ainun Najib alias Cak Nun. Saya diminta menghubungi dan minta kesedian Cak Nun. Cak Nun menyanggupi. Sampai pada hari H-nya tanggal 8 Mei 1994 pukul 9.00 pagi saya jemput Cak Nun yang saat itu sedang bersama Mohammad Sobary nonton pertandingan tinju di televisi di Sofyan Betawi Hotel, Menteng. Karena sebelumnya saya sudah kenal Cak Nun maka kita berbincang-bincang santai bertiga sambil saya disuguhi minuman jahe plus kencur, yang kata Cak Nun disiapkan oleh ibunya.

Dalam acara selamatan di rumah “pinjaman” Bang Buyung di kawasan Kebon Jeruk I, Jakarta Barat itu dengan penceramah Cak Nun dihadiri oleh banyak tokoh seperti—yang saya  catat dalam buku harian-- Ali Sadikin, Rahman Tolleng, Hariman Siregar, Anwar Haryono, HJ Princen, Aswab Mahasin dan sebagainya. Setelah ceramah Cak Nun selesai dan saya mau antar Cak Nun kembali ke hotelnya, Cak Nun bilang: “koen nyantrio sik. Aku tak karo Mas Aswab” (kamu nyantri dulu, nanti saya pulang sama Mas Aswab).


REPUBLIKA.CO.ID,  Hari Kamis 12 Mei 1994 Bang Buyung , Kak Ria dan keluarganya menuju asrama haji Pondok Gede, dan sebelum berangkat Bang Buyung mencium dua kali ibu mertuanya dan berkata:”Bu, saya naik Haji. Baik-baik ya Bu”, katanya dengan penuh santun dan haru. Ketika akan naik mobil ia mencium lagi ibunya. Sebanyak 4 mobil beriringan mengantarnya menuju asrama haji. Bang Buyung mengenakan peci hitam dan isteri beliau dengan pakaian serba putih dengan didampingi salah satu putranya bernama Rasyid Nasution (dipanggil Aan) yang juga berpeci hitam dan Bang Buyung sedikit bergurau:”ini Kyai Aan” katanya sambil tertawa. Setelah memasuki pintu asrama haji kami melambaikan tangan sebagai tanda mengiringi perpisahan kita dengan Bang Buyung dan rombongan yang akan berangkat menunaikan ibadah haji.

Perjalanan haji Bang Buyung dilakukan dalam waktu dua minggu. Bang Buyung kembali  atau tiba di tanah air/asrama haji  dari perjalanan haji tanggal 26 Mei 1994. Selanjutnya pada hari Sabtu dan Ahad  tanggal 28 dan 29 Mei 1994 saya melakukan semacam wawancara dengan Bang Buyung soal pengalaman hajinya yang sempat saya rekam dalam kaset. Pertama, ia bilang sesampainya di bandara King Abdul aziz Jeddah petugas imigrasinya sangat malas. Bang Buyung kesel dengan pelayanan yang lambat, sebagaimana beliau juga kesal dengan pelayanan hotel yang beliau tempati yang menurut beliau tidak profesional. Bahkan, terhadap pegawai hotel tersebut, beliau sempat “perang mulut” alias berdebat.

Kedua,  ia bilang kecewa dengan ilmuwan Iran Ali Syariati dalam tulisannya. Syariati mengatakan  bahwa dalam proses pelemparan jumroh Ali Syariati menganalogikan seperti melempari agama lain atau melawan agama lain. Bagi Bang Buyung ini keliru, sebab yang dilempari adalah saitan, bukan agama lain. Buyung  cukup berpegang pada QS Alkafirun: agamaku agamaku, agamamu agamamu.

Kedua, karena pada pelaksanaan haji tahun 1994 itu juga terjadi kebakaran tenda di Mina, maka Bang Buyung punya ide agar pelaksanaan haji  dikelola oleh Organisasi Konferensi Islam atau OKI sebagaimana ide beliau ini beliau tulis dan dimuat di harian Kompas tanggal 15 Juni 1994.

Ketiga, Bang Buyung merasa selama haji beliau banyak mendapat pertolongan, kemudahan. Dilindungi atau diproteksi banyak calon haji lainnya ketika sholat, atau tiba-tiba diberi minum air zam-zam oleh orang lain ketika beliau kehausan. Banyak kemudahan saya alami, katanya. Itulah secuil kenangan perjalanan Haji Adnan Buyung Nasution.

Sekitar sebulan yang lalu saya, isteri dan anak-anak bertemu dengan Bang Buyung di rumah sakit Pondok Indah (RSPI) ketika beliau akan sedang cek kesehatan dan cuci darah. Saya minta semua anak-anak untuk salaman dan cium tangan beliau dan saya bilang kalau beliau adalah guru saya. Anak-anak paham.

Namun saya punya hutang kepada beliau. Beberapa tahun terakhir ini Bang Buyung meminta saya mencarikan “guru ngaji” yang pengetahuan Alquran-nya mendalam, namun yang juga memahami teks dan konteks kekinian. Beliau beralasan, ketika kecil disuruh ngaji di tempat ngaji di sekitar alun-alun Jogja oleh orang tuanya ia bandel, malah main sepak bola. Nah, seperti ini akibatnya, kata beliau.

Bang Buyung memang manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan. Namun amal dan kebaikan almarhum dalam perjuangan penegakan hukum dan pembelaan terhadap kaum tertindas di tanah air tidaklah dapat dipungkiri. Bahkan sampai akhir hayatnya beliau masih berpesan melalui tulisan tangannya untuk membela dan memperjuangkan kaum miskin dan tertindas. Betapa mulianya hati Bang Buyung! Semoga Allah SWT menerima amalnya, mengampuni dosanya dan menempatkannya ditempat terbaik. Selamat jalan Bang...

 

* TM. Luthfi Yazid, pernah menjadi asisten pribadi Adnan Buyung Nasution.



 
Berita Terpopuler