Mengapa Kegaduhan Politik Era Jokowi tak Kunjung Usai?

Antara
Presiden Jokowi.
Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kegaduhan politik tampaknya terus berlangsung, baik sebelum, pada hari-H, maupun pasca-Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.

Setelah Pilpres 2014, banyak kontroversi yang membuat suhu politik lebih menghangat, mulai dari pencalonan Kepala Kepolisian RI Komjen Budi Gunawan hingga keputusan Menkumham Yasonna Laoly tentang dualisme kepemimpinan di dua partai politik serta kisruh antara KPK dan Polri.

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan disebut-sebut sebagai penyebab kegaduhan politik di Indonesia belakangan ini. Menurut pengamat politik Populi Center Nico Harjanto, "Dalam konteks kegaduhan politik sekarang ini, PDI Perjuangan memiliki peran paling besar."

Dugaan itu bukan tanpa alasan, dalam sebuah diskusi, dia mengemukakan beberapa tindakan PDI Perjuangan yang menyulut kegaduhan politik saat ini.

Pertama, ketika PDI Perjuangan terlihat kencang sekali mendukung Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Padahal, kata dia, publik ingat betul bahwa BG memiliki rekam jejak kasus rekening tidak wajar. Hal itu akhirnya terbukti saat KPK menetapkan BG sebagai tersangka atas kasus yang sama.

Kedua, saat Pelaksana Tugas Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto mengungkap lobi politik Abraham Samad di depan publik. Hal ini, kata Nico, membuat kepercayaan publik terhadap KPK goyah.

Ketiga, belum selesai klarifikasi Abraham atas tudingan Hasto, kader PDI Perjuangan lainnya, yakni Sugianto Sabran, melaporkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ke Bareskrim atas tuduhan memerintahkan saksi memberi keterangan palsu dalam persidangan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, di Mahkamah Konstitusi (MK) 2010.

Atas laporan itu, penyidik Bareskrim Polri menangkap Bambang terkait dengan pemeriksaan sebagai tersangka atas kasus tersebut. Dalam laporan disebutkan, ada beberapa saksi yang diminta memberikan keterangan palsu di MK.

Banyak pihak yang menduga bahwa aksi Polri beraroma balas dendam lantaran KPK sebelum kasus BW, menetapkan calon Kapolri Komjen BG sebagai tersangka atas kasus korupsi. Hal ini telah dibantah oleh KPK.

Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebut ada oknum dalam pemerintahan Joko Widodo yang membuat kegaduhan politik. Meski dalam kicauan akun Twitter-nya dia tidak menyebut siapa oknum pembuat kegaduhan itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menyebutkan oknum itu tidak lain adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly.

"Semua orang tahu karena kegaduhan dimulai pada saat Menkumham mengesahkan salah satu kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar. Yasonna mengesahkan kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya yang dipimpin oleh Romahurmuziy dan mengesahkan Golkar kubu Agung Laksono.

Keputusan menteri yang juga kader PDI Perjuangan tersebut belakangan dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara meski saat ini masih dalam proses banding. Menurut Fadli, pengadilan adalah kamar yudikatif yang independen dan perlu dihargai. Karena itu, jika Menkumham menghargai pengadilan, sudah semestinya dia tak mengajukan banding.

"Kita prihatin bahwa justru banyak kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu ditimbulkan oleh beberapa individu dalam pemerintah sendiri," kata Prabowo Subianto.

Dia menambahklan bahwa stabilitas politik bisa terwujud jika demokrasi dihormati dan dijalankan.

Terkait dengan kegaduhan politik ini, politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais meminta Presiden Jokowi agar segera meredamnya karena jika kondisi itu terus berlangsung, yang rugi adalah bangsa sendiri.

Amien Rais berharap Menkumham yang disebut-sebut banyak orang sebagai pemicu kisruh di sejumlah partai, tidak lagi ikut campur tangan terkait dengan Partai Golkar dan PPP. "Pemerintah yang menguras energinya untuk mengurusi politik orang lain, itu memperlemah fokus," katanya.

Menurut presiden RI periode 2004-2014, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seorang pemimpin harus mampu beradaptasi dengan perubahan politik yang berlangsung dalam setiap masa. "Pemimpin yang bisa beradaptasi dengan nilai-nilai baru, insya Allah, akan bisa bertahan. Pemimpin yang tidak bisa beradaptasi dengan perubahan akan sulit bertahan," katanya.

Selama menjadi presiden Indonesia, 10 tahun terakhir, dia mengaku banyak melalui tantangan sebab era reformasi, demokrasi, dan transformasi sama-sama sedang berjalan. Bahkan, kebebasan terus berkembang dalam kurun waktu tersebut.

Pada masa sekarang dan mendatang, kata SBY, tantangan yang dihadapi kepala negara bakal kian meningkat. "Menjadi presiden bukan hanya harus sangat sabar, harus tegar, dan harus kuat menghadapi tantangan pada era politik yang sering gaduh, melainkan pemimpin harus tetap bekerja mencapai tujuan yang dikehendaki bangsa ini," kata SBY.

Gejolak politik yang kerap terjadi tentu saja berdampak pada perekonomian, termasuk kepercayaan para investor. Karena itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit meminta pemerintah menciptakan situasi kondusif di dalam negeri. Situasi yang stabil memberikan kenyamanan bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Dalam suasana politik yang gaduh, menurut Anton, investor bertanya-tanya apakah Indonesia merupakan tempat investasi yang tepat. Padahal, Indonesia sangat membutuhkan tanaman modal dari pihak swasta yang diharapkan dapat meningkatkan lapangan pekerjaan dan produktivitas dalam negeri.

"Bagi investor pendatang baru kondisi ini berpengaruh. Mereka berpikir, daripada datang ke negara seperti ini, lebih baik di sana (negara lain). Ini bukan demi mereka, tetapi pada dasarnya kita harus punya good governance, tata kelola yang baik, jangan karena pencitraan dan ada kebijakan yang baik untuk masyarakat," katanya.

Anton juga menambahkan bahwa salah satu pertimbangan investor adalah kepastian hukum yang ada di negara tujuan investasi. Bila hal tersebut lemah, akan menjadi hambatan tersendiri dan sangat memengaruhi iklim investasi.

Pendapat senada juga disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Komunikasi Universitas Katolik Atmadjaya Antonius Prasentyantoko yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,7 persen lebih rendah daripada target 5,7 persen makin berdampak negatif pada kepercayaan investor.

Dia juga menilai, selama delapan bulan pemerintah berjalan banyak keputusan yang keliru. Dia meminta pemerintah meningkatkan kembali koordinasi untuk mengembalikan kepercayaan investor.

Presiden RI ke-6, SBY menyebut adanya kegaduhan politik bukan berarti politik yang dipilih itu salah. "Kalau kita melakukan amendemen UUD 1945, misalnya, karena UUD 1945 itu bukan keramat, harus adaptif terhadap perubahan. Kita jangan malu dan marah terhadap perubahan asalkan dilakukan secara aspiratif sesuai dengan kebutuhan, dan proses perubahannya dengan cara yang benar," katanya.

Dia menawarkan lima hal untuk mengatasi kegaduhan politik. Kelimanya memerlukan konsensus nasional. "Fundamental pertama adalah sistem politik yang kita anut sebenarnya presidensial. Akan tetapi, dalam praktiknya, semipresidensial dan semiparlementer sehingga terjadi kegaduhan. Bangsa Indonesia bisa saja kembali kepada sistem presidensial. Namun, dalam tatanan yang demokratis, bukan sistem otoriter," katanya.

Fundamental kedua adalah UUD 1945 menyebut Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik. Namun, dalam praktiknya, Indonesia justru menjalankan desentralisasi yang luas dan otonomi daerah. "Bisa saja sistem desentralisasi dan otonomi itu menjadi pilihan kita. Namun, sistem distribusi kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota perlu ditata," ujarnya.

Fundamental ketiga adalah hubungan negara dan rakyat yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab karena semua berpendapat bahwa HAM itu penting. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kewajiban dan tanggung jawab itu harus seimbang.

Fundamental keempat adalah sistem dua kamar antara DPR dan DPD yang dalam praktiknya masih terkesan 1,5 kamar karena peran dan kewenangan DPD masih sangat kecil. Hal itu perlu segera ditata ulang untuk keseimbangan sistem parlementer yang ada.

Fundamental kelima adalah perlunya penataan hubungan untuk lembaga dengan fungsi yang sama, seperti MA-MK-KY atau Polri-Kejaksaan-KPK sehingga tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pandangan yang menghabiskan energi.

Terlepas dari usulan-usulan tersebut, selaku Ketua Umum Partai Demokrat, SBY menyampaikan tiga sikap resmi partainya sebagai kontribusi dukungan kepada pemerintahan Jokowi. Pertama, gubernur, bupati, dan wali kota dari Partai Demokrat wajib loyal kepada Presiden RI.

Kedua, Partai Demokrat akan memberikan dukungan penuh dan ikut menyukseskan kebijakan pemerintah yang tepat dan sesuai dengan aspirasi rakyat. Ketiga, Partai Demokrat akan mengkritisi dan mengoreksi manakala keputusan Presiden dan kebijakan pemerintah tidak tepat dan tidak sesuai dengan harapan rakyat Indonesia.

Seperti ditegaskan SBY, tidak ada satu kekuatan mana pun yang bisa mengatasi permasalahan bangsa ini sendirian. "Kebersamaan kukuh dan kerja sama yang dilandasi niat baik, ketulusan, dan sikap saling menghormati adalah keniscayaan," katanya.

 
Berita Terpopuler