Ahad 17 Apr 2022 15:02 WIB
...

Ade Armando, Liputan Demo, dan Kerusuhan 98

Seringkali aku meliput aksi demo hingga yang terbesar aksi demo mahasiswa 1998.

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Endro Yuwanto
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR untuk demonstrasi  pada 21 Mei 1998 menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden RI Soeharto.
Foto:

Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika.

Atur strategi, pelajari situasi, jangan terpancing provokasi dan intimidasi, hindari kerumunan massa yang nggak kondusif, cari posisi aman, berada di barisan polisi dan kenakan ID card pers. Keselamatan nomor satu, jangan mati konyol. Itu pesan yang kerap didengungkan redaktur foto Republika, Bachtiar Phada, kepada para fotografer yang ditugaskan meliput demo yang berpotensi bentrok dan kerusuhan sehingga bisa mengancam keselamatan jiwa.

Sebagai fotografer, seringkali aku meliput aksi demo mahasiswa, demo buruh, hingga yang terbesar yakni aksi demo mahasiswa yang berujung kerusuhan Mei 1998. Tentu cukup besar, risiko mendapati intimidasi dan kekerasan, baik yang dilakukan para demonstran, para perusuh, maupun aparat kepolisian.

Terkena lemparan batu, sabetan pentungan, semprotan air dari mobil water cannon dan tembakan gas air mata, menjadi risiko terkecil yang kerap menimpa para fotografer dan kameraman yang meliput di garis terdepan aksi demonstrasi. Odol pasta gigi, salah satu perbekalan yang kerap dibawa untuk mencegah perihnya mata dari terkena asap gas air mata.

Peristiwa yang cukup mencekam, takkala kali pertama aku mendapat tugas membantu meliput demontrasi mahasiswa Trisakti yang berujung tewasnya empat orang mahasiswa pada 12 Mei 1998. Aparat keamanan gabungan tentara dan polisi yang ingin membubarkan aksi demo, dengan membabi buta tak henti-hentinya menembaki gas air mata dan peluru karet ke kerumunan massa mahasiswa yang kocar-kacir berlarian ke dalam kampus.

Aku terjebak di dalam kampus, sementara waktu sudah menjelang Magrib dan aku harus segera kembali ke kantor. Dapat informasi, sebagian teman fotografer lainnya terjebak di dalam Kantor Wali kota Jakarta Selatan dan tidak bisa keluar karena tidak diperbolehkan oleh pasukan anti huru-hara (PHH).

Usai kumandang adzan Magrib, aku memberanikan keluar dari dalam kampus dengan cara mencoba bernegosiasi dengan salah satu aparat keamanan. Beruntung, aku akhirnya diizinkan dan dikawal seorang aparat keamanan menuju ke tempat yang aman. Seorang pengendara motor bersedia mengantarkan aku hingga tiba di kantor Republika.

Esoknya, 13 Mei 1998, diumumkan empat mahasiswa tewas dalam demontrasi yang menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru yakni Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Sedangkan korban luka-luka tercatat 681 orang.

Tak pelak, Tragedi Trisakti menjadi pemicu kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Jakarta. Kerusuhan yang kental bernuansa rasial terjadi cukup mencekam. Sepertinya semua orang terlihat kalap, mobil-mobil pemerintah dan aparat keamanan dibakar, toko dan mal dijarah dan dibakar. Situasi sudah tak terkendali, tidak tampak satu orang pun aparat keamanan baik polisi maupun tentara yang bertugas.

Aku membidikkan kamera ke amuk massa yang menjarah dan membakar pusat pembelanjaan atau Mal Robinson di Pasar Minggu. Bapak-bapak, Ibu-ibu, anak-anak muda dan remaja, seperti tak berdosa, berebutan mengambil barang-barang dari dari dalam mal yang juga mulai dibakar.

Namun, beberapa pria menatap tajam ke arahku sambil menghardik. "Jangan difoto," teriak seorang pria yang hendak mengambil satu televisi dari dalam toko elektronik.

"Wartawan, Pak," jawabku.

Beberapa orang pria mendekat sambil berteriak untuk tidak membidikkan kamera ke arah mereka. "Jangan difoto, jangan difoto!"

Aku merasa kerumunan massa mulai tak kondusif. Aku perlahan menghindar dan menjauh, mencari posisi yang aman. Kerumunan massa semakin beringas, menjarah, dan juga membakar toko-toko yang berdekatan dengan Mal Robinson, Pasar Minggu.

Setelah cukup mendapati banyak angle foto, aku kembali ke kantor Republika di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Sepanjang perjalanan, aku melihat rolling door toko-toko yang tutup tertulis, Toko Milik Pribumi.

***

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement