Rabu 30 Mar 2022 17:20 WIB

Keppres, Soeharto, dan Perspektif Baru Sejarah Serangan Umum 1 Maret

Peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret menjadi polemik

Beberapa koleksi benda perjuangan dipajang saat Pameran Daulat dan Ikhtiar di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Selasa (8/3/2022). Pada pameran ini bertajuk memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 melalui seni.
Foto:

Oleh : Hasan Sadeli, Aktivis NU, Lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

Persepsi liar semacam itu jelas salah dan perlu untuk diluruskan. Nama Soeharto sama sekali tidak dihilangkan dalam sejarah peristiwa SU 1 Maret 1949. 

Bahkan dalam naskah akademik Keppres 2/2022 nama Soeharto disebutkan sebanyak 48 kali. Soeharto yang saat itu berpangkat letnan kolonel mengkomandoi Wehrkreise (lingkar pertahanan) III meliputi Yogjakarta. 

Selain Soeharto, terdapat nama-nama lain yang juga punya peran penting di lapangan, seperti Mayor Ventje HN Sumual, Mayor Soedjono, Mayor Sardjono, Mayor Soekasno dan beberapa tokoh militer lainnya. 

Kita juga jangan lupa bahwa terdapat hierarki militer yang merancang dan memberi instruksi serangan mulai dari Panglima Besar Jendral Soedirman, kemudian Kolonel Nasution sebagai panglima tentara teritorium Jawa, dan Kolonel Bambang Sugeng sebagai panglima divisi III yang membawahi Yogjakarta, Banyumas, Pekalongan sampai ke barat Semarang. Nama-nama ini juga punya jasa dan peran besar dalam berbagai pertempuran termasuk dalam peristiwa SU 1 Maret 1949.     

Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa yang dominan diperbincangkan ialah tidak dituliskannya nama Soeharto? Bila salah satu keberatan terhadap Keppres 2/2022 ditujukan pada hilangnya nama Soeharto, mengapa para sejarawan bersikap bias dengan ketiadaan nama-nama lain yang juga berperan penting dalam peristiwa SU 1 Maret? 

Atau anggaplah nama Soeharto dicantumkan dalam Keppres, sementara tokoh lain misalnya Bambang Sugeng yang secara hierarki militer merupakan atasan Soeharto kemudian tidak disertakan, apakah kemudian publik merasa bahwa itu Keppres yang obyektif?

Kita juga tidak boleh melupakan jasa besar Sri Sultan Hamengku Buwono IX bukan saja dalam konteks inisiator dalam SU 1 Maret. Tetapi juga karena keberanian, kerelaan, dan kesiapannya dalam “menyedekahkan” Kota Yogjakarta sebagai Ibu Kota negara menggantikan Jakarta di tengah kepungan Belanda diberbagai wilayah. 

Jelas bahwa kita perlu memandang persoalan menggunakan kaca mata yang lebih luas. SU 1 Maret adalah bagian dari keseluruhan rangkaian peristiwa penting yang terjadi di kota Yogjakarta. 

Bila kita mau melihat itu dalam konteks yang lebih luas, tidak mungkin berbagai peristiwa heroik (termasuk SU 1 Maret) terjadi tanpa adanya kebesaran hati dari Sri Sultan yang mempersilakan Yogjakarta untuk dijadikan pusat perlawanan dengan segala konsekuensinya. 

Atas hal itu, saya rasa sudah tepat bila namanya tertulis dalam Keppres 2/2022. Meskipun di sisi lain saya juga kebingungan menilai peran persis dari Soekarno-Hatta dalam SU 1 Maret 1949 yang justru dituliskan dalam huruf C Keppres.  

Baca juga: 3 Tanda yang Membuat Mualaf Eva Yakin Bersyahadat

Ada yang menilai bahwa polemik ini tidak akan terjadi seandainya dalam beleid tersebut tidak terdapat penyebutan nama tokoh. Tetapi saya sendiri meragukannya. 

Mengingat dalam naskah akademiknya terdapat semacam argumentasi untuk meluruskan historiografi peristiwa serangan umum yang selama ini dipandang terlalu didominasi tokoh tertentu.

Sehingga dinilai mereduksi peran tokoh-tokoh lain yang dianggap berjasa seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Jendral Soedirman.      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement