Ibn Qayyim dalam definisinya mengenai yakin, memberikan analogi tentang madu. Jika seseorang berkata bahwa ia memiliki madu, maka ia baru sampai tingkat ‘ilmu al-yaqin. Namun seteelah ia melihat madu itu dengan mata kepala sendiri dengan jelas, maka itulah ‘ain al-yaqin. Terakhir, jika ia sudah melihat sekaligus mencicipi rasanya madu itu, maka itulah haqq al-yaqin.
Uraian tentang yakin di atas, memberikan kita gambaran bukan hanya karena kebaikan dan kebesaran Allah yang telah menghidupkan, memberi perlindungan sepanjang hayat, lengkap dengan kenikmatan-kenikmatan di lautan dan daratan untuk dimanfaatkan seluruh manusia tanpa terkecuali, namun juga memberikan kita peringatan bahwa hendaknya, semua makhluk yang mengimani-Nya, istiqamah dalam ibadah hingga datang fase-fase yang ia ‘yakini’ yakni kematian; fase dimana ruh dan jiwa-Nya kembali kehadirat-Nya, melepas semua yang ia punya selama di dunia, hanya amal-amal shaleh saja yang mampu menolong dirinya.