Rabu 09 Jun 2021 08:50 WIB

Zakat dan Moderasi Beragama

Persoalan zakat mendukung program moderasi beragama di Indonesia.

Ilustrasi Zakat. Republika/Thoudy Badai
Foto:

Oleh : Nana Sudiana (Direktur Pendayagunaan IZI & Mahasiswa MSKI UIN Jakarta)

Energi Zakat Menuju Moderasi

Dalam acara Webinar Nasional bertemakan Branding Ekonomi Syariah Indonesia: Menuju Pusat Ekonomi Syariah Dunia yang diselenggarakan Fakultas Hukum UNPAD dan Ikatan Keluarga Alumni Notariat (Ikano) UNPAD, 10 Maret 2021, Wakil Presiden Kiai Ma'ruf Amin menyampaikan sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia sangat potensial untuk pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Ekonomi Syariah yang dicanangkan, yang di dalam /masterplan-nya disebut akan mengusung visi Indonesia yang mandiri, makmur, dan madani dengan menjadi pusat ekonomi syariah terkemuka di dunia, tetap memerlukan kuatnya dukungan zakat, infak sedekah dan wakaf sebagai pilar keuangan sosial Islam bagi tercapainya tujuan tadi.

Tanpa dukungan zakat dan wakaf, visi besar ekonomi Syariah Indonesia bisa memperlambat proses pertumbuhannya. Dan kontribusi ekonomi Syariah yang telah ditetapkan, hanyalah akan menjadi jargon semata. Termasuk soal percepatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan umat Islam hanya akan menjadi sebuah fatamorgana.

Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar didunia mempunyai potensi zakat sebesar Rp 233,8 triliun. Namun dari potensi yang besar tersebut, baru 2,3 persen atau sekitar Rp 10 triliun yang bisa dikelola. Walaupun begitu, penghimpunan dana zakat  secara nasional terus mengalami pertumbuhan di setiap tahunnya. Rata-rata pertumbuhan zakat di Indonesia di setiap tahunnya mencapai 24 persen.

Dari waktu ke waktu dana penghimpunan zakat terus tumbuh, saat ini tercatat dalam statistik zakat ada 572 Organisasi Pengelola Zakat yang terdiri dari Baznas dan LAZ. Organisasi-organiasi ini diperkirakan melibatkan amil dalam aktivitasnya hingga 11 ribu lebih yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Mereka ini semua selain berfungsi sebagai amil zakat, di lapangan bisa pula bertransformasi jadi agen kebaikan untuk percepatan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat.    

Jumlah penghimpunan dan SDM amil yang tidak kecil ini sejatinya bisa dimanfaatkan dan diselaraskan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Program-program pendayagunaan zakat saat ini terus mengalami inovasi. Dari yang tadinya didominasi program-program charity, kini perlahan bergeser ke arah pemberdayaan.

Program-program yang ada juga semakin meluas untuk program-program yang sifatnya strategik. Contohnya seperti ketahanan keluarga, pemberdayaan ekonomi, penguatan lingkungan hidup maupun program strategik lainnya yang mengarah pada terciptanya perdamaian, harmoni kehidupan serta pada terciptanya pemahaman Islam yang washatiyah.  

Dalam penyalurannya, zakat memiliki peran yang sangat strategis, baik bagi mustahik maupun bagi pembangunan nasional. Dalam penyalurannya untuk mustahik, zakat merupakan ujung tombak peningkatan kualitas kehidupan para mustahik. Sedangkan dalam kaitannya dengan pembangunan, zakat bisa berfungsi sebagai salah satu sumber pendanaan pembangunan.

Dalam statistik zakat 2019, tercatat dana ZIS yang dikelola disalurkan kepada 23.505.660 mustahik. Dana ini disalurkan pada mereka melalui 5 program yaitu: ekonomi, pendidikan, dakwah, kesehatan  dan sosial kemanusiaan. Dalam sosial kemanuasiaan ini termasuk dalam bencana dan musibah yang terjadi, baik bencana alam, maupun bencana sosial lainnya.

Sebagaimana kita tahu, zakat dalam praktiknya, bukan hanya soal penunaian ibadah umat Islam. Ia juga menjadi instrument keuangan sosial umat. Dengan potensinya yang cukup besar, zakat (dan juga wakaf) dapat menjadi sarana untuk mendukung program moderasi beragama. Zakat diharapkan juga mampu mengurangi pandangan-pandangan ekstremisme, radikalisme serta ujaran-ujaran kebencian (hate speech) yang bisa berdampak pada retaknya hubungan internal umat maupun antar umat beragama.

Zakat dalam implementasinya, selain mengurangi gap antara orang-orang kaya dengan mereka yang berkategori miskin, juga memungkinkan untuk membangun perekonomian, baik di perkotaan maupun pedesaan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang baik sendiri, jangan sampai menyisakan ketertinggalan berlebihan dari orang-orang miskin yang tak mampu menjadi bagian kemajuan. Pembangunan nasional diharapkan berakar kuat pada pemberdayaan masyarakat sehingga, masyarakat adil dan makmur benar-benar terwujud dan menjadi kenyataan.

Dari pembangunan yang penuh harmoni dengan sendirinya akan melahirkan kesadaran beragama yang baik, penuh toleransi dan saling menghormati. Sebaliknya, bila pembangunan yang dilakukan justru memicu dalamnya kesenjangan, ia akan melahirkan ketidakharmonisan dan pada akhirnya bisa memicu renggangnya hubungan antar elemen dalam struktur masyarakat, baik di internal umat Islam maupun dengan sesama umat beragama.

Ketidakharmonisan juga berisiko mendorong munculnya persoalan serius dalam perdamaian antar umat beragama di Indonesia. Dan hal ini berdampak munculnya ancaman pada persatuan dan kesatuan bangsa, baik dalam kehidupan beragama dan bernegara.

#Ditulis dalam perjalanan Lumajang-Semarang, Sabtu-Ahad, 5-6 Juni 2021

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement