Selain itu kejadian ini harus menjadi pelajaran kita bersama yaitu, bagaimana tata sistem nilai di sekolah ditransformasikan dalam ruang pendidikan kita semua. Sebab, status pelajar merupakan "subjek" yang sedang mengikuti proses, jadi baik buruknya merupakan output dari sistem pendidikan yang ada.
"Ketika ia dikeluarkan dari sekolah, maka hal itu akan menjadi beban psikis seumur hidupnya. Selain itu akan terbangun stigma negatif didalam ruang sosial yang bisa membuat sang anak dikucilkan dalam lingkungan masyarakat. Dan itu tidak boleh terjadi," ungkapnya.
"Kita juga mesti menjadikan hal ini sebagai pelajaran bersama agar bijak dalam memanfaatkan media sosial. Agar tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Baik itu dalam bentuk kebencian maupun sentimen-sentimen lainnya berbau SARA," timpal Sultan.
Hal ini juga selaras apa yang disampaikan sebelumnya oleh seorang akademi serta tokoh pendidikan Provinsi Bengkulu, Elfahmi Lubis, Rabu (19/5), menurutnya dasar pemikiran tidak menyetujui si anak dikeluarkan dari sekolah adalah lebih kepada pertimbangan psikologis dan sosial anak. Jelas dengan sanksi "bias" anak ini, akan menimbulkan tekanan psikologis dan sosial luar biasa bagi si anak.
"Dalam konteks Undang-Undang Nomor: 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor : 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, pengaturan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum untuk diarahkan pada pemenuhan hak anak serta mengutamakan keadilan restoratif," papar pria yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Bengkulu tersebut.
Terakhir Elfahmi menjelaskan bahwa selain itu di dalam konstitusi diatur secara tegas bahwa hak untuk memperoleh pendidikan adalah hak setiap warga negara dan negara wajib mengusahakannya. Jadi hak untuk sekolah itu adalah hak asasi setiap orang, yang tidak boleh dirampas dan dikurangi sedikitpun dan dengan alasan apapun, termasuk oleh negara.