Ahad 14 Mar 2021 10:08 WIB

‘Islam Garam’ Ala Bung Hatta

Sang wakil presiden pertama RI merupakan keturunan seorang ulama-sufi terkemuka.

Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta. Bung Hatta selalu menolak uang yang bukan haknya.
Foto:

Seorang Muslim hendaknya memakai “ilmu garam”, bukannya “ilmu gincu.” Kehadirannya terasa membawa nilai-nilai Islam di tengah masyarakat meskipun penampilan lahiriah atau label yang diusungnya tidak mengusung nama agama ini. Jangan, umpamanya, hanya tampak membawa-bawa nama Islam, tetapi tabiatnya justru jauh dari ajaran Nabi Muhammad SAW dan petunjuk Alquran.

Latar keluarga

Bung Hatta kelihatan lebih mementingkan substansi dari ajaran agamanya ketimbang menampilkan simbol-simbol keagamaan yang ada. Keteguhannya dalam berislam merupakan buah dari pola pendidikan yang diterimanya dari keluarga maupun guru-gurunya. Tokoh yang lahir dengan nama Muhammad Athar (athar, ‘harum’) itu diketahui memiliki darah ulama-sufi.

Cendekiawan Yudi Latif menulis dalam “Makrifat Pagi” tentang latar belakang keluarga pahlawan nasional ini. Kakek Bung Hatta bernama Syekh Abdurrahman. Sosok yang dikenal sebagai Syekh Batuampar itu merupakan pendiri Surau Batu Hampar, salah satu masjid (surau) yang tetap bertahan selepas Perang Padri. Tempat itu difungsikan pula sebagai sentra pengajaran Tarekat Naqsyabandiyyah. Bapaknya, Muhammad Djamil—anak dari Syekh Batuampar—dihormati sebagai seorang ulama muda. Sayang, sewaktu Hatta masih berusia delapan bulan, ayahnya berpulang ke rahmatullah.

Hatta kecil lantas diasuh pamannya, Haji Arsjad. Saat menjalani masa anak-anak, dirinya pernah dibimbing seorang ulama besar Minangkabau, Syekh Muhammad Djamil Djambek. Dari Haji Arsjad, Hatta kecil pun menerima nasihat-nasihat tentang agama, termasuk jalan tarekat. Sepeninggalan Syekh Batuampar, Haji Arsjad menerima amanah untuk memimpin jamaah Tarekat Naqsyabandiyyah selaku “Tuanku Nan Muda.”

Sang paman sangat berharap Hatta tumbuh menjadi seorang ulama. Bahkan, Haji Arsjad sudah berniat untuk mengajak keponakannya itu ke Makkah al-Mukarramah untuk menuntut ilmu. Apalagi, adik almarhum ayahanda Hatta, Haji Nurdin, telah lebih dahulu bermukim di kota tersebut. Ketika Paman Arsjad sudah siap bertolak ke kota kelahiran Nabi SAW itu, ternyata ibunda Hatta merasa putranya itu masih terlalu kecil untuk merantau ke Tanah Suci. Apalagi, waktu itu Hatta belum khatam Alquran.

Pada 1913, anak muda ini berhasil menyelesaikan pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS). Ia pun melanjutkan studinya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Hatta termasuk beruntung karena pada masa itu ada perubahan kebijakan dari otoritas Hindia Belanda. Murid-murid MULO diizinkan untuk menerima pelajaran agama selama satu jam per pekan. Ia pun mendapatkan pengajaran dari seorang guru agama Islam, Haji Abdullah Ahmad.

Begitu lulus dari MULO, Hatta memutuskan untuk merantau ke Jawa. Pilihannya jatuh pada kota Batavia (Jakarta). Di sana, dirinya akan meneruskan belajar di Prins Hendrik Handels School, setingkat SMA yang khusus mengajarkan ilmu dagang. Selama di tanah Betawi, ia tinggal menumpang di rumah seorang pedagang sukses, Ma’ Etek Ayub. Bahkan, biaya pendidikannya ditanggung oleh pamannya tersebut. Paman Ayub juga senang membelikan berbagai buku bacaan kepada sang keponakan.

Salah satu buku yang membuatnya terkesan adalah ...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement