Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika
***
Usai tahun baru 2005, bantuan kemanusiaan dan logistik dari berbagai elemen organisasi kemasyarakatan dalam negeri maupun internasional mulai berdatangan. Amerika Serikat (AS) mendatangkan kapal induknya dan pesawat hercules militer Jerman, Prancis, Inggris, Jepang mendarat di bandara Lanud Iskandar Muda, Blang Bintang, Banda Aceh. Mereka membawa bantuan logistik makanan, air mineral, dan personel militer untuk membantu pemulihan bencana.
Wartawan asing dari seantero dunia juga mulai berdatangan. Mereka sudah bisa langsung menyampaikan berita dahsyatnya bencana gempa dan tsunami Aceh yang menelan 132 ribu korban jiwa, 37 ribu jiwa dinyatakan hilang, dan 572 ribu jiwa kehilangan tempat tinggal.
Personel TNI/Polri juga mulai membuat kuburan massal seluas 500 meter persegi di kawasan Ulee Lheu. Penguburan ribuan mayat dilakukan dengan menggunakan alat berat (beckho) yang langsung dimasukan ke lubang kuburan dengan kondisl mayat yang sudah membusuk.
Pada Jumat, 21 Januari 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama ribuan warga Aceh yang selamat dari musibah menunaikan Shalat Idul Adha di Masjid Raya Baiturrahman dengan dirundung duka yang mendalam. Aku pun ikut melaksanakan Shalat Ied yang penuh haru dan tangis itu.
Pada Senin, 24 Januari 2005, aku kembali ke Jakarta tentu dengan membawa rasa sedih yang mendalam. Kemudian aku menemui fotografer Media Indonesia, M Soleh, dan berinisiatif mengumpulkan hasil jepretan para pewarta foto sebelum, saat, dan sesudah gempa dan tsunami Aceh untuk dijadikan buku bertajuk Aceh Loen Sayang. Sebuah buku bertutur secara visual betapa Kota Banda Aceh pernah hilang dalam sekejab. Aceh loen, peuehaba? (Acehku, apa kabar?)