Rabu 03 Mar 2021 03:59 WIB
...

Aceh Loen, Peuehaba?

Aku semakin syok menyaksikan begitu banyak mayat bergelimpangan di pinggir jalan.

 Kedahsyatan tsunami yang membuat kapal pembangkit PLTD apung dengan bobot 2.600 ton dan panjang 63 meter terseret cukup jauh, kurang lebih sejauh lima kilometer dari tempat bersandar di pelabuhan Ulee Lheue ke tengah permukiman penduduk Desa Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh.
Foto:

Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika

***

Usai tahun baru 2005, bantuan kemanusiaan dan logistik dari berbagai elemen organisasi kemasyarakatan dalam negeri maupun internasional mulai berdatangan. Amerika Serikat (AS) mendatangkan kapal induknya dan pesawat hercules militer Jerman, Prancis, Inggris, Jepang mendarat di bandara Lanud Iskandar Muda, Blang Bintang, Banda Aceh. Mereka membawa bantuan logistik makanan, air mineral, dan personel militer untuk membantu pemulihan bencana.

 

photo
Museum Tsunami Aceh di Kota Banda Aceh. - (Istimewa.)

 

Wartawan asing dari seantero dunia juga mulai berdatangan. Mereka sudah bisa langsung menyampaikan berita dahsyatnya bencana gempa dan tsunami Aceh yang menelan 132 ribu korban jiwa, 37 ribu jiwa dinyatakan hilang, dan 572 ribu jiwa kehilangan tempat tinggal.

Personel TNI/Polri juga mulai membuat kuburan massal seluas 500 meter persegi di kawasan Ulee Lheu. Penguburan ribuan mayat dilakukan dengan menggunakan alat berat (beckho) yang langsung dimasukan ke lubang kuburan dengan kondisl mayat yang sudah membusuk.

Pada Jumat, 21 Januari 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama ribuan warga Aceh yang selamat dari musibah menunaikan Shalat Idul Adha di Masjid Raya Baiturrahman dengan dirundung duka yang mendalam. Aku pun ikut melaksanakan Shalat Ied yang penuh haru dan tangis itu.

photo
Foto-foto di dalam buku foto Aceh Loen Sayang. - (Istimewa.)

 

Pada Senin, 24 Januari 2005, aku kembali ke Jakarta tentu dengan membawa rasa sedih yang mendalam. Kemudian aku menemui fotografer Media Indonesia, M Soleh, dan berinisiatif mengumpulkan hasil jepretan para pewarta foto sebelum, saat, dan sesudah gempa dan tsunami Aceh untuk dijadikan buku bertajuk Aceh Loen Sayang. Sebuah buku bertutur secara visual betapa Kota Banda Aceh pernah hilang dalam sekejab. Aceh loen, peuehaba? (Acehku, apa kabar?)

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement