Kamis 28 Jan 2021 05:57 WIB

Benarkah Islam Antikearifan Lokal?

Wali Songo menyebarkan Islam di nusantara melalui tradisi dan budaya

Batik: Akar sejarah batik tak lepas dari peran ulama di masa lalu untuk mengenalkan Islam

Oleh : Muhammad E Fuady, Akademisi Fikom Unisba

Wayang Golek dan Islamisasi

Di Jawa Barat, wayang mulai dikenal di Cirebon, pada masa Sunan Gunung Jati sekitar abad 15 M. Jenis wayang golek mulai muncul di Bandung karena gagasan dari Bupati Bandung yang mengutus seorang dalang dari Tegal Ki Darman untuk membuat wayang golek purwa. 

Mulanya, wayang golek ini masih berbentuk pipih layaknya wayang kulit gepeng atau dwimatra, dengan melalui proses perubahan, wayang golek banyak ditemui di beberapa wilayah Jawa Barat. Sedari awal, wayang golek telah bersentuhan dengan nilai-nilai keislaman, ia tetap diposisikan sebagai media dakwah.

Wayang golek, lazimnya jenis wayang lainnya, dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog dari tokoh-tokoh wayang, dengan suara dan logat bahasa yang berbeda-beda tergantung nama tokoh wayang yang dimainkan.

Wayang kontemporer bisa dikemas dengan dua dalang, atau saling bersahutan dengan biduan atau nayaga. Pada setiap pertunjukan digelar, di awal, di tengah dan di akhir selalu diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga (pemain musik) dan tembang (lagu) yang dinyanyikan oleh para pesinden.

Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang tokoh-tokoh wayang. Biasanya cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, peperangan Pandawa melawan Kurawa antara kebaikan dan kejahatan memperebutkan Astina.

Dalang tidak hanya menceritakan kisah peperangan dan kehidupan para ksatria, punakawan, akan tetapi juga membawa pesan-pesan moral, kejujuran, keadilan, falsafah hidup, religius, dan kemanusiaan.

Wayang golek di kalangan orang Sunda adalah bagian tak terpisahkan seperti halnya wayang kulit bagi orang Jawa. Selama ini istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”, tak luput dari peran seni pertunjukkan wayang golek. Pesan dakwah dalam wayang disampaikan dalang di berbagai segmen. 

Menonton wayang tak ubahnya mendengar sebuah ceramah dari agamawan. Hal itu menandakan wayang golek sebagai budaya Sunda dan Islam memiliki hubungan yang amat erat, tak bisa dipisahkan satu sama lain, begitu dekat, harmonis dan selaras.

Dalam wayang golek ada dimensi spiritualitas. Seni pertunjukan wayang golek di Sunda menonjolkan nuansa keislaman, seperti eskpresi spiritualitas wayang baik dalam simbol maupun isi atau pesan cerita. 

Hal ini ditunjukkan dari model-model wayang golek yang kemudian mengalami improviasi dan kombinasi budaya Sunda dengan simbol keislaman. Seperti Cepot yang menggunakan “iket” pada kepalanya, sarung di pundaknya, tokoh Dawala dengan pecinya. Kisah Bima bertemu Dewa Ruci di samudera, itu dimaknai sebagai pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir. 

Ilmu Kesaktian yang hebat adalah Jimat Kalimusada, yaitu dua Kalimat Syahadat. Tak jarang dalam dalam seni wayang golek berbicara soal keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat sehari-hari.

Seperti niat shalat yang dilafalkan sebelum takbiratul ihram dibenarkan ataukah keliru dalam pandangan agama. Seorang dalang mestilah sosok yang memang paham agama.

Sebagai audiens, masyarakat tentu bukan hanya mendapatkan hiburan, tetapi juga bertambah pengetahuan keagamaan. Boleh jadi ada hal yang baru diketahui, atau memantapkan keyakinannya tentang masalah keagamaan tertentu,

Melalui wayang, Islam mudah diterima oleh orang Sunda karena karakter agama yang tidak jauh berbeda dengan karakter budaya Sunda. Ajaran Islam yang sederhana mudah diterima oleh kebudayaan Sunda yang juga sederhana.

Ajaran akhlak misalnya, sesuai dengan jiwa orang Sunda yang mengedepankan sopan santun. Kentalnya banyolan, guyon, dan humor dalam seni wayang golek membuat pesan dakwah mudah diterima.

Jadi, pernyataan Arya Permadi di awal tulisan tentang Islam sebagai agama pendatang dari Arab, memang arogan, mengharamkan tradisi asli, pake kebaya murtad, wayang kulit diharamkan, dan menginjak kearifan lokal, betul-betul ahistoris dan melukai hati banyak muslim.

Siapa yang kena getah dari cuitannya? Sudah pasti Banser atau NU yang sering ia identikkan dirinya dengan organisasi tersebut di media. Atribut NU digunakan untuk menunjukkan ke-NU-annya.  

Padahal ia sama sekali tak merepresentasikan secuilpun sikap ormas terbesar di Indonesia ini. Nahdliyin sendiri gerah dan tak nyaman dengan cuitannya. Tindakannya seperti sebuah pepatah Arab, “Bul ‘alaa zamzam fatu’raf”. Orang yang ingin popular dengan mengencingi sumur zamzam.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement