Realita kehidupan yang tidak selalu sejalan dengan nalar dipaparkan dalam cerpen berjudul “Ada seseorang di Kepalamu yang Bukan Aku”, yang mengisahkan kehidupan suami istri yang harus berpisah selama tahunan, karena si istri dipenjara setelah membunuh dua anak balitanya.
Pada judul cerpen ini terdapat tanda footnote atau catatan kaki yang menjelaskan bahwa sebenarnya cerpen ini merupakan versi kedua dari suami.
Ada versi sebelumnya yang pernah ditulis dengan kisah yang sama dengan menggunakan sudut pandang ‘aku’ dari si istri. Pemilihan ‘aku’ memungkin si penulis mengelaborasi secara subjektif melalui narasi tokoh itu sendiri.
Memang sebuah cerpen pada umumnya hanya menampilkan satu tokoh utama saja, dengan model penceritaan bersudut pandang ‘aku’ atau ‘dia’ yang dipilih oleh penulis. Tapi pada antologi cerpen ini terdapat sebuah cerpen dengan tiga sudut pandang penceritaan ‘aku’, yaitu pada cerpen berjudul “Mahligai Impian”.
Memang sebenarnya tidak ada kesepakatan tentang berapa halaman sebuah cerpen ditulis. Sesuai dengan namanya: cerita pendek, mestilah pendek. Oleh karena pendek itulah, di dalam sebuah cerpen hanya mungkin dihadirkan satu penceritaan saja.
Namun, dalam “Mahligai Impian”, pengarang membuat penceritaan dilakukan oleh tiga tokoh berbeda dengan sama-sama menggunakan sudut pandang ‘aku’.
Ending setiap cerpen ini selalu mengagetkan, bagi saya. Beberapa ending mengajak saya berkontemplasi. Beberapa ending lain seolah meminta saya berhenti secara tiba-tiba, padahal saya mengharapkan cerita masih berlanjut.
Sungguh, sebenarnya saya berharap cerita itu belum berakhir. Tapi itulah hakekat cerpen, sebuah cerita yang pendek saja.
Cerpen “Senja di Tenjolaya” berhasil memainkan emosi saya sebagai pembaca untuk menerima bahwa cerita sudah berakhir, dengan penggambaran adegan tokoh utama yang seolah sedang dipaksa memasuki suatu dunia lain. Akhir, yang justru sebenarnya ‘bukan akhir’ cerita.