Kamis 24 Dec 2020 17:19 WIB
KPU Bawaslu

Bawaslu Daerah Diminta Lindungi Pelapor Pelanggaran Pilkada

Mereka yang melapor berpotensi mendapatkan ancaman teror dari pihak terlapor.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andi Nur Aminah
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilihan (Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo meminta jajarannya di daerah memberikan perlindungan kepada masyarakat yang melaporkan dugaan pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Sebab, mereka yang melaporkan dugaan pelanggaran administrasi maupun pidana berpotensi mendapatkan ancaman teror dari pihak terlapor.

"Masyarakat dihantui ketakutan dan risiko mendapat tekanan, bahkan ancaman teror dari pihak yang dilaporkan. Bawaslu harus bisa pasang badan untuk para pelapor," ujar Dewi dikutip laman resmi Bawaslu RI, Kamis (24/12).

Baca Juga

Ia membandingkan data pelanggaran pada Pilkada 2018 yang dilaksanakan di 171 daerah (17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota dengan Pilkada 2020 yang digelar di 270 daerah (sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota). Jumlah dugaan pelanggaran Pilkada 2018 memang lebih banyak dibandingkan Pilkada 2020, meski daerah pemilihan tahun 2018 lebih sedikit.

Kendati demikian, walaupun jumlah dugaan pelanggaran menurun, tetapi tingkat penanganan pelanggaran mengalami kenaikan. Di samping itu, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat agar bersedia melaporkan jika ada pelanggaran pemilihan pun butuh kerja keras.

Maka, saat masyarakat berpartisipasi ikut melaporkan dugaan pelanggaran, jajaran Bawaslu harus siap melindungi. Dewi mengatakan, perlindungan kepada pelapor yang mungkin mendapatkan ancaman teror dari pihak terlapor menjadi hal yang sangat penting dilakukan.

Dewi memerinci, bentuk pelanggaran administrasi yang mendominasi pada Pilkada 2018 maupun 2020 ialah pemasangan alat peraga kampanye (APK) yang tak sesuai prosedur. Kemudian pelanggaran kode etik dan pidana yang kerap terjadi antara lain keberpihakan penyelenggara ad hoc, keberpihakan kepala desa, dan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement