Kamis 05 Nov 2020 00:25 WIB

PKS Tetap Desak Jokowi Keluarkan Perppu Ciptaker

PKS tak memilih opsi legislative review karena ibarat prosesnya mulai dari awal lagi.

Rep: Arief Satrio Nugroho/ Red: Andi Nur Aminah
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati
Foto: istimewa
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak memilih Opsi Legislative Review atau uji legislasi terhadap UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). PKS lebih mendorong agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang membatalkan diundangkannya UU tersebut. 

"PKS cenderung tidak memilih opsi Legilative Review," kata Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati, yang juga sempat menjadi Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU Cipta Kerja, melalui pesan yang diterima Republika.co.id, Rabu (4/11).

Baca Juga

Ia mengatakan, legislative review adalah upaya untuk mengubah suatu undang-undang melalui DPR. Legislative review ini adalah proses pengusulan undang-undang baru atau revisi undang-undang. Hal itu diatur UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. 

Karena tidak berbeda dengan proses pembuatan undang-undang, maka legislative review Undang-undang Cipta Kerja juga harus melalui lima tahapan pembuatan undang-undang. Kelima tahap itu yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.

Artinya, pemerintah dan DPR harus berkomunikasi tentang siapa yang menginisiasi legislative review dengan mengajukan poin-poin revisi. Jika diterima DPR, Undang-undang Cipta Kerja akan kembali dibahas dalam rapat-rapat di DPR. “Prosesnya seperti mulai dari awal lagi,” ujar Anis.

Karena itu, sikap politik PKS setelah Undang-undang Cipta Kerja ini diundangkan oleh Presiden, adalah mendesak Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Perppu. “Bahkan, harus tegas dikatakan bahwa saat ini sangat urgen menerbitkan Perppu karena telah terjadi situasi kegentingan yang memaksa seperti yang disebutkan dalam dalam kriteria putusan MK 138/PUU-VII/2009,” tegas Anis.

Menurut Anis, situasi kegentingan yang memaksa seperti yang disebutkan dalam dalam kriteria putusan MK 138/PUU-VII/2009 adalah pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sementara keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Jika melihat tiga kriteria diatas, maka PKS menilai, syarat Perppu sudah terpenuhi. Ditambah lagi, Undang-undang Cipta Kerja ini sudah diundangkan dan memiliki nomor registrasi di Lembaran Negara RI (LNRI) tahun 2020 dengan nomor 245. “Maka tidak ada yang menghalangi kewenangan Presiden untuk menerbitkan Perppu saat ini,” ujar Anis menegaskan. 

Sebagaimana diketahui, Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja terus menuai polemik. Setelah Presiden Joko Widodo menandatanganinya Senin (2/11). Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), mendaftarkan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (3/11). KSPI juga mendorong fraksi di DPR terutama yang menolak UU Cipta Kerja, yakni Demokrat dan PKS untuk mengajukan legislative review. 

Selain itu, KSPI juga masih akan melanjutkan aksi serta mogok kerja, sesuai dengan hak konstitusional buruh yang teratur dalam undang-undang, yang bersifat antikekerasan (non violence).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement