Jumat 30 Oct 2020 08:08 WIB

Perayaan Maulid Nabi tak Bertentangan dengan Syariat

Rasa syukur kepada Allah bisa ditunjukkan dengan berbagai macam bentuk ibadah.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Ani Nursalikah
Perayaan Maulid Nabi tak Bertentangan dengan Syariat. Menu tradisional khas Aceh Kuah Beulangong yang dimasak warga pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, di Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Aceh, Kamis (29/10/2020). Kuah Beulangong (kari daging sapi atau kambing) yang dimasak secara gotong royong telah menjadi tradisi pada setiap peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW untuk dibagi-bagikan kepada warga, fakir miskin dan anak yatim.
Foto: IRWANSYAH PUTRA/ANTARA
Perayaan Maulid Nabi tak Bertentangan dengan Syariat. Menu tradisional khas Aceh Kuah Beulangong yang dimasak warga pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, di Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Aceh, Kamis (29/10/2020). Kuah Beulangong (kari daging sapi atau kambing) yang dimasak secara gotong royong telah menjadi tradisi pada setiap peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW untuk dibagi-bagikan kepada warga, fakir miskin dan anak yatim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih banyak sebagian kaum yang berpikiran kaku dan keras menentang kegembiraan mayoritas kaum Muslimin dalam memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. Menurut mereka perbuatan tersebut sebagai bid'ah dhalalah alias sesat.

Mufti Mesi Syekh Ali Jum'ah mengatakan, perayaan hari kelahiran (maulid Nabi) audah umum dilakukan kaum muslimin dan tidak bertentangan dengan syariat. Umar bin al-Khattab berkata, Nabi SAW ditanya mengenai puasa hari Senin. Beliau lantas menjawab "Itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan hari di mana aku diutus menjadi Rasul atau hari pertama aku mendapatkan wahyu."

Baca Juga

Syekh Ali Jumah menuturkan, dalam hadits tersebut terdapat isyarat Rasulullah SAW bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat kelahirannya di dunia dengan cara berpuasa pada Senin. Ulama salaf kita, semenjak abad ke-4 Hijriyah telah melanggengkan perayaan Maulid Nabi SAW. 

"Dengan cara menghidupkannya malam itu dengan berbagai bentuk ibadah kepadanya, antara lain, seperti memberi makan fakir miskin, membaca Alquran, berdzikir dan melantunkan syair-syair pujian terhadap Rasulullah," katanya.

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan pakar sejarah Islam seperti Ibnu al-Jauzi, Ibnu Katsir, Ibnu Dihyah, al-Andalusi, Ibnu Hajar al-aAsqalani dan Jalaluddin as-Suyuthi. Adapun yang menjadi pegangan Ibnu Hajar al-Asqalani untuk memasukkan hukum peringatan Maulid Nabi SAW adalah sebuah hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari dan Shahih Muslim, di mana Nabi SAW datang ke Madinah dan mendapatkan orang-orang Yahudi telah melaksanakan puasa Asyura (10 Muharram). 

Beliau lantas bertanya kepada mereka mendengar mengenai hal itu. Mereka menjawab, "Hari ini adalah hari di mana Allah Ta'ala telah menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa pada hari ini karena ingin bersyukur kepada Allah." 

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Dari hadits ini dapat diambil benang merah bahwa sebuah perbuatan yang dilakukan atas dasar rasa syukur kepada Allah atas kenikmatan, atau ingin dijauhkan dari kesengsaraan di hari tertentu, itu dibolehkan. Dan juga boleh untuk dirayakan di hari yang sama setiap tahunnya. 

"Rasa syukur kepada Allah bisa ditunjukkan dengan berbagai macam bentuk ibadah, seperti bersujud, berpuasa, bersedekah, dan membaca Alquran," katanya.

Maka, kenikmatan apalagi yang lebih utama daripada kenikmatan munculnya nabi yang membawa rahmat bagi sekalian alam dengan kelahirannya pada hari itu.

Syekh Ali Jum'ah mengatakan, memang Nabi SAW dan para sahabatnya tidak pernah merayakan maulid nabi pada 12 Rabi'ul Awwal setiap tahunnya, namun ia tidak bisa menjadi alasan untuk menyatakan perayaan Maulid Nabi sebagai bid'ah yang tercela. Karena bid'ah yang tercela adalah tidak masuk ke dalam satu dalil syar'i yang bisa memujinya. 

"Jika bidah termasuk golongan dalam dalil yang memujinya, maka ini tidak bisa disebut sebagai hal yang tercela," katanya.

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi'i, ia berkata, "Perkara yang baru itu ada dua macam. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan Alquran, sunnah dan atsar atau konsensus ulama. Perkara yang baru ini adalah bid'ah yang sesat.

Kedua, perkara baru yang mengandung kebaikan, yang tidak dipertentangkan oleh para ulama. Perkara baru seperti ini tidak lah tercela. Umar Ibnul khaththab pernah berkata mengenai salat tarawih berjamaah di bulan Ramadan. 

"Sebaik-baik bidah adalah amalan ini." 

Maksudnya adalah amalan itu merupakan perkara baru, karena sebelumnya belum pernah ada. Jika demikian maka tidak ada penolakan terhadap perkara ini sebagaimana keterangan yang terdahulu.

Imam as-Syuthi berkata, "Peringatan Maulid Nabi di dalamnya tidak terdapat bertentangan dengan Alquran sunnah dan ijma ulam. Oleh karena itu, peringatan itu tidak termasuk bid'ah yang tercela, sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam as-syafi'i. Peringatan Maulid Nabi termasuk amalan kebaikan yang belum diketahui pada awal Islam.

Sebab, di dalam peringatan itu terdapat kegiatan memberi makan orang yang membutuhkan tanpa didasari dengan perbuatan dosa. Kegiatan semacam ini termasuk salah satu dari amalan kebaikan. 

"Berangkat dari itu, maka peringatan Maulid Nabi termasuk bidaah yang disunnahkan, seperti yang pernah dijelaskan Imam Izzuddin bin Abdissalam," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement