Jumat 11 Sep 2020 20:57 WIB

Stigmatisasi 9/11 dan Diskriminasi Covid-19 Sama Bahayanya

Insiden 9/11 memicu stigmatisasi sama bahayanya dengan diskriminasi Covid-19.

Insiden 9/11 memicu stigmatisasi sama bahayanya dengan diskriminasi Covid-19. Menara Kembar WTC
Foto: storyeo.com
Insiden 9/11 memicu stigmatisasi sama bahayanya dengan diskriminasi Covid-19. Menara Kembar WTC

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr Syihabuddin Qalyubi, Lc*

Meski peristiwa 11 September sudah berlangsung beberapa tahun lalu, namun peristiwa yang mengguncang dunia tersebut meninggalkan luka yang cukup dalam, berupa diskriminasi dan stigmaisasi terhadap orang Arab dan Muslim yang tinggal di Amerika Serikat. Pandangan negatif ini telah diilustrasikan banyak sineas dan sinetron di seluruh dunia untuk menampilkan karya-karya tersebut dari berbagai sudut pandang.  

Baca Juga

Karya sinematik itu telah memantau kehidupan orang-orang Amerika setelah dua menara diledakkan dan mendokumentasikan tentang apa yang terjadi pada orang Arab dan Muslim yang tinggal di Amerika Serikat. Setiap orang dengan nama Arab atau Islam telah menjadi sasaran tuduhan, itulah yang diliput surat kabar dan situs internasional untuk banyak kasus penganiayaan yang dilakukan terhadap orang Arab di sana, sehingga banyak terjadi profiling yaitu tindakan untuk mencurigai seseorang hanya karena etnisitas atau rasnya. 

“The Citizen” adalah salah satu film yang mendapat inspirasi dari peristiwa 11 September. Film ini disutradarai  Sam Kadi, dibintangi aktor Mesir Khaled Al-Nabawy sebagai Ibrahim Jarrah yang  lahir di Lebanon, dia pindah ke negara lain untuk melepaskan diri dari Perang Saudara Lebanon yang brutal. Karena tidak dapat menemukan pekerjaan, dia mendapat tawaran pekerjaan yang bagus di Kuwait dan pindah ke sana tidak lama sebelum Saddam Hussein menyerang. Lalu setelah memenangkan Lotere Greencard Amerika Serikat , dia tiba di New York pada 10 September 2001. 

Nasib buruk tampaknya menghampiri di negara barunya. Terkejut dengan apa yang dia lihat dari jendela hotelnya pada pagi hari 11/9, lantas di sore harinya dia keluyuran di kota New York dengan penuh traumtik. Nasib malang sedang menyapanya, ketika dia kembali, dia ditangkap  FBI dan diinterogasi, kemudian dia “menghilang” selama enam bulan. Setelah dibebaskan dan muncul di muka umum, dia mengalami berbagai bentuk diskriminasi anti-Arab, anti-Muslim ("Anda ingin pekerjaan, Anda harus mengganti nama"). Dan yang terakhir, dia menghadapi deportasi menjelang mendapatkan kewarganegaraan karena dia memiliki nama yang sama dengan salah satu pembajak.   

Peristiwa nine-eleven ini telah menginspirasi film lainnya seperti My name is Khan,  World Trade Center, New York, The Guys, Zero Dark Thirty, United 93, dan Fahrenheit 9/11, namun yang mendeskripsikan efeknya terhadap stigmatisasi dan diskriminasi adalah film The Citizen, dan My name is Khan. 

Keadaan mencekam pasca11 September  2001 agak mirip dengan masa awal Covid-19 di Indonesia, semua orang tidak berani keluar rumah, muncullah kepanikan-kepanikan sebagai akibat tidak jelasnya informasi penanganan covid-19, sehingga viral di medsos poster “ Indonesia Terserah”.

Lalu muncullah stigmatisasi kepada dokter/tenaga medis dan pasien Covid-19. Sekalipun Presiden Jokowi telah menyampaikan statetmennya bahwa dokter adalah garda terdepan dalam penanganan Covid-19, namun di tengah masyarakat ada muncul stigmatisasi. Stigma didefinisikan sebagai penilaian lingkungan kepada suatu individu atau kelompok tertentu. Seringkali penilaian itu negatif.   

photo
Ratusan tenaga medis melepas pemberangkatan jenazah dokter anestesi Imai Indra, yang meninggal akibat COVID-19 di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh, Rabu (2/9/2020). Dokter Imai Indra Sp.An merupakan dokter pertama di Aceh yang meninggal akibat COVID-19, sementara seratus lebih tenaga medis lainnya juga positif COVID-19 dan tengah menjalani perawatan. - (ANTARA/Ampelsa)

Ada diinformasikan dokter/tenaga medis yang mendapat perlakuan diskriminatif yaitu penolakan dari lingkungannya, karena rumah sakit tempat mereka kerja menerima pasien Covid-19, sehingga muncul stigma akan menularkan virus corona di lingkungannya.

Sudah barang tentu sikap seperti ini sangat mengganggu dan merugikan, karena setelah suntuk menangani pasien mereka sangat membutuhkan istirahat agar besok harinya bisa bertugas lagi dalam keadaan fresh. Lebih celaka lagi jika stigma itu juga dialamatkan kepada keluarga mereka yang setiap hari menunggu kedatangan mereka dengan harap-harap cemas 

Sudah barang tentu perilaku seperti itu tidak berdasar, karena para dokter dan tenaga medis telah menempuh protokol yang cukup ketat dan menggunakan alat pelindung diri (APD) yang standar, sehingga kemungkinan penularan Covid-19 di lingkungannya sangat minim sekali.

Sangat disayangkan lagi diskriminasi dan sgimatisasi itu dialamatkan juga kepada para pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pengawasan (ODP) Covid-19. Mereka ini sangat membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius. Menurut WHO stigma bisa menimbulkan stereotip dan asumsi negatif. Stereotip ini bisa memperluas ketakutan dan merendahkan seseorang yang telah terpapar virus corona.   

Pada tingkat yang lebih parah, stigma bisa membuat seseorang menghindari pertolongan, pemeriksaan, pengujian, ataupun karantina, dan  dampak lainnya adalah berupa isolasi sosial, kehilangan hak akses hidup dan tinggal, serta depresi, sehingga bisa menghambat pada kesembuhan pasien.  

Yang sangat menyedihkan lagi orang yang sudah secara medis dinyatakan meninggal, keluarganya tidak mau jenazahnya dipulasara (diurus) sesuai protokol Covid-19, karena ada stigma di kalangan mereka meninggal disebabkan corona adalah ‘aib bagi keluarganya. Padahal menurut ajaran Islam orang yang meninggal karena pandemi adalah mati syahid, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: 

الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ  

"Kematian karena wabah adalah syahid bagi tiap Muslim (yang meninggal karenanya).” (HR Bukhari).”

Maka dari itu, jangan sampai terjadi, kita mengutuk keras atas stigmatisasi dan diskriminisasi terhadap orang Arab dan Muslim di Amerika pasca-nine-eleven, sementara tanpa disadari kita sendiri sedang melakukan stigmatisasi kepada dokter/tenaga medis dan pasien Covid-19. Mari kita hentikan stigmatisasi dan diskriminasi ini. Semoga kita segera bisa melewati masa Covid-19 ini dalam keadaan sehat dan damai.

*Guru besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement