Jumat 28 Aug 2020 07:31 WIB

Bawaslu: Dugaan Pelanggaran Pilkada Capai 1.098 Kasus

Bawaslu akan memerketat pengawasan paslon pejawat.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus raharjo
Ketua Bawaslu RI Abhan berbincang dengan Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo ketika sidang penanganan pelanggaran administratif pemilu dengan agenda putusan pendahuluan di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (1/11).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Bawaslu RI Abhan berbincang dengan Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo ketika sidang penanganan pelanggaran administratif pemilu dengan agenda putusan pendahuluan di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (1/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat dugaan pelanggaran Pilkada 2020 sudah mencapai 1.098 kasus. Padahal, pelaksanaan pilkada masih sekitar tiga bulan lebih.

Berdasarkan catatan Bawaslu per 12 Agustus 2020, dugaan pelanggaran tersebut terdiri dari 904 temuan dan 194 laporan. Setelah diproses dari jumlah dugaan tersebut, 260 kasus dinyatakan bukan pelanggaran.

"Kita belum sampai tahapan pencalonan, kampanye, ini jadi kewaspadaan kita. Kita enggak ingin pelanggarannya tinggi," ujar anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo dalam diskusi daring, Kamis (27/8).

Ia memerinci, 242 kasus merupakan pelanggaran administrasi. Tren pelanggaran ini yakni pengumuman seleksi penyelenggara ad hoc tidak sesuai ketentuan. Kemudian, 57 kasus adalah pelanggaran kode etik. Tren pelanggarannya yaitu panitia pemungutan suara (PPS) atau panitia pemilihan kecamatan (PPK) memberikan dukungan kepada bakal calon kepala daerah.

Berikutnya, 14 kasus termasuk tindak pidana pemilihan. Tren pelanggaran yang terjadi ialah seseorang memalsukan dukungan pasangan calon perseorangan. Lalu terdapat 528 kasus merupakan pelanggaran hukum lainnya seperti pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN).

Tren pelanggaran ini ialah ASN memberikan dukungan politik melalui media sosial dan melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri ke partai politik. Ratna menambahkan, terdapat satu laporan atau temuan yang hasilnya lebih dari satu rekomendasi, terjadi di Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Dengan demikian terdapat selisih antara jumlah temuan dan laporan dengan rincian pelanggaran yang disebutkan di atas.

Di sisi lain, berdasarkan data Pilkada 2018 lalu, terdapat 155 dugaan tindak pidana pemilihan yang diteruskan kepada penyidik. Perbuatan pidana yang paling banyak terjadi seperti tindakan pejabat negara, ASN, atau kepala desa yang menguntungkan salah satu pasangan calon (62 kasus); politik uang (22 kasus); serta kampanye di luar jadwal (18 kasus).

Dari data tersebut, lanjut Ratna, maka ada kecenderungan pejabat atau birokrasi melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon. Dengan demikian, sangat penting Bawaslu melakukan pengawasan maksimal terhadap pasangan calon pejawat atau yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah atau pejabat yang sedang berkuasa.

Apalagi, Pilkada 2020 diramaikan dengan bakal calon kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat yang masih berkuasa. Mereka yang sudah muncul di publik antara lain, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) di pemilihan wali kota (pilwalkot) Solo, menantu Jokowi di pilwalkot Medan, putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang maju di pilwalkot Tangerang Selatan, dan keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra di pilwalkot Tangerang Selatan.

"Tantangan 2020 ini tidak kecil karena bisa melibatkan pemegang kekuasaan tertinggi yang ada di dalam negara," kata dia.

Menurut dia, tantangan potensi pelanggaran dalam Pilkada 2020 tidak mudah. Fungsi pelayanan yang dilakukan penyelenggara pilkada di jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menjamin dapat bekerja secara profesional dan tidak diskriminatif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement