Selasa 11 Aug 2020 15:50 WIB

Iran Terancam Kehilangan Pengaruh di Lebanon

Hasan Nasrallah memperingatkan agar Hizbullah tak diseret-seret dalam ledakan ini.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
 Pengunjuk rasa anti-pemerintah bentrok dengan polisi anti huru hara dan lari dari gas air mata, ketika mereka mencoba mencapai gedung Parlemen, selama protes terhadap para elit politik dan pemerintah, di Beirut, Lebanon, Sabtu, 8 Agustus 2020. Sekelompok orang Pengunjuk rasa Lebanon termasuk pensiunan perwira militer telah menyerbu gedung Kementerian Luar Negeri di ibu kota Beirut sebagai bagian dari protes menyusul ledakan besar-besaran minggu ini.
Foto: AP/Hussein Malla
Pengunjuk rasa anti-pemerintah bentrok dengan polisi anti huru hara dan lari dari gas air mata, ketika mereka mencoba mencapai gedung Parlemen, selama protes terhadap para elit politik dan pemerintah, di Beirut, Lebanon, Sabtu, 8 Agustus 2020. Sekelompok orang Pengunjuk rasa Lebanon termasuk pensiunan perwira militer telah menyerbu gedung Kementerian Luar Negeri di ibu kota Beirut sebagai bagian dari protes menyusul ledakan besar-besaran minggu ini.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran mengamati perkembangan situasi di Lebanon pascaledakan yang mengguncang Beirut pekan lalu. Pengaruh Teheran terhadap negara tersebut terancam seiring dengan merebaknya demonstrasi yang menuntut perubahan rezim.

Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab telah mengumumkan pengunduran diri dari jabatannya pada Senin (10/8) malam waktu setempat. Dia menanggalkan jabatannya setelah tiga menteri di pemerintahannya mundur merespons demonstrasi yang diikuti ribuan warga Lebanon.

Baca Juga

Dalam unjuk rasa itu, massa menyalahkan pemerintah atas terjadinya ledakan yang mengguncang Beirut. Pemerintah dianggap lalai karena tidak segera melenyapkan 2.750 ton amonium nitrat hasil sitaan yang disimpan di sebuah gudang di pelabuhan Beirut.

Di sela-sela pekikan menuntut perubahan rezim, sejumlah pengunjuk rasa turut meneriakkan slogan-slogan menentang kelompok Hizbullah yang didukung Iran. Memang cukup banyak warga di sana yang turut menyalahkan Hizbullah atas terjadinya ledakan di Beirut.

Pada Jumat pekan lalu, pemimpin Hizbullah Hasan Nasrallah telah memperingatkan agar kelompoknya tidak diseret-seret atau disalahkan atas insiden ledakan Beirut. Menurut dia, tindakan tersebut tidak akan membuahkan hasil apa pun.

"Hizbullah, dengan kekuatan dan patriotismenya, lebih besar dan lebih kuat daripada dipukup oleh para pembohong yang ingin mendorong serta memprovokasi perang saudara. Mereka akan gagal dan mereka akan selalu gagal," ujar Nasrallah, dikutip laman the Washington Post.

Saat ini Lebanon masih dibalut ketidakpastian politik. Presiden Prancis Emmanuel Macron adalah salah satu pemimpin dunia yang telah menyerukan reformasi besar-besaran di Lebanon.

Namun seruannya itu menuai banyak kritik, termasuk dari Turki dan Iran. Dia dipandang ingin menancapkan lagi pengaruh Prancis ke negara bekas jajahannya.

Pemerintah Iran mengatakan, negara-negara di dunia seharusnya tidak mempolitisasi ledakan di Beirut, Lebanon. Teheran menilai terdapat pihak-pihak yang hendak memanfaatkan kejadian tersebut untuk tujuan politik.

"Ledakan itu tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk tujuan politik. Penyebab ledakan itu harus diselidiki dengan hati-hati," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi dalam sebuah konferensi pers pada Senin lalu.

Kendati tidak menyebut secara eksplisit, Iran mengatakan terdapat beberapa negara yang ingin mempolitisasi ledakan Beirut. "Beberapa negara telah mencoba mempolitisasi ledakan ini untuk kepentingan mereka sendiri," ujar Mousavi.

Pada kesempatan tersebut, Mousavi turut menyerukan agar Amerika Serikat (AS) mencabut sanksinya terhadap Lebanon. "Jika Amerika jujur tentang tawaran bantuannya kepada Lebanon, mereka harus mencabut sanksi," ucapnya

Sejauh ini, sebanyak 163 orang dilaporkan tewas akibat ledakan Beirut. Sementara lebih dari enam ribu lainnya mengalami luka-luka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement