Senin 08 Jun 2020 16:50 WIB

UN SD dalam PPDB SMA/SMK, Wali Murid: Sebuah Kemunduran 

Formulasi baru tersebut tidak mengapresiasi proses belajar peserta didik selama SMP.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Sejumlah siswa Sekolah Dasar (SD) berjalan sambil membawa soal-soal setelah pelaksanaan uji coba ujian nasional. (ilustrasi)
Foto: Antara/Andika Wahyu
Sejumlah siswa Sekolah Dasar (SD) berjalan sambil membawa soal-soal setelah pelaksanaan uji coba ujian nasional. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Nilai Ujian Nasional (UN) Sekolah Dasar (SD) yang termasuk dalam formulasi penghitungan nilai gabungan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK 2020 di DIY dinilai sebagai sebuah kemunduran dalam dunia pendidikan. Pasalnya, nilai UN SD ini tidak dapat dijadikan sebagai standar peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA/SMK. 

"Adanya komponen UN SD masuk, saya kira ini sebuah kemunduran pendidikan di kita," kata salah satu wali murid, Eko Budi kepada Republika saat dihubungi melalui sambungan telepon di Yogyakarta, Senin (8/6). 

Untuk bobot perhitungan nilai ini awalnya diambil dari rata-rata nilai rapor sebesar 80 persen, rata-rata nilai UN sekolah dalam empat tahun terakhir sebesar 10 persen, dan nilai akreditasi sekolah sebesar 10 persen.

Formulasi tersebut diubah menjadi rata-rata nilai rapor ditambah dengan nilai UN SD dengan total bobot sebesar 80 persen, nilai rata-rata UN sekolah dalam empat tahun terakhir sebesar 10 persen dan nilai akreditasi sekolah sebesar 10 persen.

Menurut Eko, diubahnya kebijakan tersebut tidak mengedepankan keadilan bagi peserta didik. Bahkan, formulasi baru dengan mempertimbangkan UN SD tersebut tidak mengapresiasi proses belajar yang telah dilakukan peserta didik ketika menempuh pendidikan di jenjang SMP. 

Walaupun di 2020 ini UN SMP ditiadakan karena pandemi Covid-19, bukan berarti nilai UN SD menjadi pertimbangan dalam PPDB SMA/SMK 2020 ini. Menurut EKo, dengan nilai rapor sudah mewakili proses dalam pendidikan dari peserta didik itu sendiri. 

"Ini sangat tidak relevan, UN SD itu sudah diapresiasi waktu dulu anak-anak masuk SMP, cukup sampai di situ. Untuk penilaian SMA, ya prosesi waktu anak di SMP. Yang paling representatif adalah nilai rapor mereka, karena di sini mereka berproses, berprestasi, menambah ilmunya," ujar Eko. 

Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY harus bijak dalam mengambil keputusan di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Tentunya, dengan mengedepankan keadilan bagi seluruh peserta didik. 

"Anak adalah makhluk sosial yang punya integritas, kemauan dan cita-cita yang harus dihargai dan diapresiasi prosesnya. Tidak menengok ke belakang dengan UN SD. Terbukti masuknya UN SD, membuat rasa ketidakadilan tidak hanya di eksternal sekolah, tapi dalam sekolah itu sendiri," katanya. 

Seperti diketahui, PPDB 2020 SMA/SMK di DIY tidak hanya dipertimbangkan dari nilai rapor saat SMP. Namun, nilai UN SD juga menjadi pertimbangan dalam PPDB SMK/SMK 2020 yang dilakukan secara daring ini.

Kebijakan ini diambil oleh Disdikpora DIY dengan pertimbangan nilai rapor yang tidak memiliki standar yang jelas. Dalam artian, standar dari nilai rapor ini ditetapkan oleh masing-masing sekolah dan standarnya berbeda-beda.

"Kalau hanya rapor saja, itu standarisasinya diragukan. Diubah karena tahun ini kan tidak ada UN. Karena saat Covid-19 ini tidak ada alat ukur yang paling standar selain UN untuk masuk SMA," kata Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Mutu Pendidikan Disdikpora DIY, Didik Wardaya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement