Senin 08 Jun 2020 14:53 WIB

Ratusan Orang Dukung Penghapusan UN SD untuk PPDB SMA DIY

Mengambil jalan pintas memakai nilai USM SD untuk pendaftaran SMA dinilai sesat akal.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Pendidikan nasional (ilustrasi)
Pendidikan nasional (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kebijakan Panitia PPDB SMAN di DIY yang memasukkan komponen USM SD/MI masih jadi kontroversi. Ratusan orang membubuhkan tanda tangan petisi berjudul Hapus Komponen Nilai USM SD/MI untuk PPDB SMAN DIY di change.org.

Petisi itu sendiri sampai Senin (8/6) siang sudah ditandatangani sebanyak 462 orang. Petisi tersebut diunggah sejak akhir pekan lalu oleh Deddy Heriyanto, salah satu orang tua murid yang mendapatkan pengumuman formula baru dari sekolah anaknya.

Kemudian, Deddy menghubungi sekolah dan meminta penjelasan atas kebijakan yang tiba-tiba itu. Usai protes ke wali kelas dan kepala sekolah, mereka mengaku cuma menjalani peraturan yang dibuat Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) DIY.

Setelah diberikan kontak Dikpora DIY yang menangani PPDB, Deddy langsung meminta penjelasan lebih lanjut. Sayangnya, jawaban yang diberi terbilang normatif dan tidak mendapatkan alasan pasti kebijakan tersebut.

"Saya tanya, bisa tidak menyampaikan ke atasan, dia jawab bisa saja tapi tidak menjamin, keputusan di atasan, terus saya minta kontak atasannya agar bisa sampaikan langsung, tapi tidak dibalas," kata Deddy kepada Republika, Senin.

Menemui jalan buntu menyampaikan keluhannya, Deddy membuat petisi yang ternyata diamini cukup banyak masyarakat. Sebagian besar sepakat kebijakan ini tidak sejalan konsep 'Merdeka Belajar' dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Deddy menjelaskan, awalnya Juknis PPDB SMAN TA 2020/2021 menggunakan nilai rapor untuk seleksi penerimaan jalur zonasi maupun prestasi. Namun, muncul tuntutan Forum Orang Tua Pencari Keadilan (Fortuna) yang menyangsikan standarisasi nilai rapor.

Usulannya, indeks linierisasi yang mengkonversi nilai rapor siswa SMP dengan rata-rata nilai UN empat tahun terakhir. Jadi, rapor sekolah yang terlalu murah hati memberi nilai dikoreksi indeks rata-rata UN empat tahun terakhir.

Dari sana diketahui komponen rata-rata UN empat tahun terakhir (mengakomodir tuntutan Fortuna) dan rata-rata akreditasi sekolah dalam perhitungan nilai gabungan. Kedua komponen dirasa cukup baik karena menandakan bobot sekolah.

"Yang dianggap tidak tepat memasukkan nilai siswa rata-rata USM SD/MI dalam rumus tersebut, apalagi bobotnya hingga mencapai 40 persen," ujar Deddy.

Ia berpendapat, Disdikpora DIY sudah memonitor prestasi siswa SMP. Selama tiga tahun kegiatan belajar mengajar, siswa diwajibkan ikuti ujian semester atau ujian kenaikan kelas yang memakai soal-soal standar Dinas Pendidikan.

Artinya, kata Deddy, nilai-nilai murni siswa telah diambil reguler melalui ujian-ujian lewat soal-soal terstandar Dinas Pendidikan enam semester. Maka dari itu, meragukan nilai rapor sekolah sama saja meragukan kualitas soal Disdik.

"Sangat aneh kalau PPDB SMAN 2020 harus mengambil dari nilai USM SD/MI. Memasukkan komponen nilai USM SD/MI ke rumus nilai gabungan PPDB SMAN hemat kami juga melenceng dari slogan Pak Nadiem Makarim yakni Merdeka Belajar," kata Deddy.

Sebab, slogan ini dapat diartikan sebagai terbebas dari keterkekangan satu metode penilaian tunggal seperti UN. Tapi, alih-alih memakai nilai murni ujian reguler siswa enam semester, PPDB SMAN DIY justru kembali ke UN.

Hal ini diperparah oleh Panitia PPDB SMAN DIY yang memakai nilai UN (USM) SD/MI yang sudah lampau. Ia menyarankan, Disdikpora DIY harus berani sedikit bersusah payah mengumpulkan nilai murni siswa SMP sepanjang enam semester.

"Disdikpora harus hargai jerih payah siswa SMP yang kerjakan soal-soal Disdikpora dalam ujian-ujian selama enam semester. Jangan karena UN SMP tidak diadakan, Disdikpora ambil jalan pintas memakai nilai USM SD/MI untuk pendaftaran SMAN, itu sesat akal," ujar Deddy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement