Kamis 04 Jun 2020 13:05 WIB

Pemerintah Revisi APBN Agar Pertumbuhan Ekonomi tak Negatif

Ketidakpastian akibat Covid-19 berpeluang membuat ekonomi Indonesia masuk fase kritis

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Defisit APBN melebar
Foto: Republika
Defisit APBN melebar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan kembali merevisi postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Sebelumnya, APBN dalam Perpres 54/2020 disebut mengalami pelebaran hingga Rp1.093,2 triliun atau sebesar 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Kepala BKF Febrio N. Kacaribu mengatakan revisi APBN perlu dilakukan untuk menghindari penurunan pertumbuhan ekonomi yang lebih tajam. "Ini kenapa pemerintah mengubah postur untuk memastika jangan sampai pertumbukan ekonomi negatif," kata Febrio dalam konferensi video, Kamis (4/6).

Baca Juga

Febrio mengakui, ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 ini berpeluang membuat perekonomian Indonesia memasuki fase krisis. Apabila hal tersebut tidak segera diatasi, Febrio menambahkan, angka kemiskinan dan pengangguran akan meningkat.

Febrio merinci, pada postur APBN yang baru, pendapatan negara akan turun sebesar Rp61,7 triliun dari Rp 1.760,9 triliun, menurun menjadi Rp 1.699,1 triliun. Penerimaan perpajakan juga direvisi dari Rp 1.462,6 triliun menjadi Rp 1.404,5 triliun.

Sementara APBN untuk belanja negara mengalami kenaikan sebesar Rp124,5 triliun dari sebelumnya Rp 2.613,8 triliun menjadi Rp 2.738,4 triliun. Menurut Febrio, revisi ini merupakan yang kedua kalinya dilakukan oleh pemerintah pada tahun ini. Sebelumnya, defisit APBN diperkirakan sebesar 5,07 persen dari PDB.

Febrio mengatakan revisi APBN kedua ini akan segera diterbitkan dalam waktu satu hingga dua minggu mendatang. "Ini memang berat karena yang dihadapi di lapangan semakin berat. Kita harus gerak cepat," tutur Febrio.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement