Rabu 27 May 2020 12:43 WIB

'Banyak Salah Kaprah dalam Menilai RUU Ciptaker'

ada beberapa poin yang masih terdapat salah kaprah.

Ribuan buruh menggelar aksi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (16/3).
Foto: Edi Yusuf/Republika
Ribuan buruh menggelar aksi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (16/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pembahasan RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan sudah ditunda. Akan tetapi untuk klaster lain pembahasan akan tetap berlanjut. Dikarenakan Omnibus Law Cipta Kerja memiliki 11 klaster yang tentunya memiliki banyak sisi positif. Tapi sayangnya masih saja banyak yang salah kaprah di tengah masyarakat terhadap RUU Cipta Kerja. 

Menurut Bambang Arianto, direktur Institute for Digital Democracy sekaligus pengamat RUU Cipta Kerja, ada beberapa poin yang masih terdapat salah kaprah. Pertama, perihal hilangnya upah minimum bagi para pekerja.

Menurut dia, pada kenyataannya tidak ada penghilangan upah minimun regional. Meskipun dalam Omnibus Law ada penerapan upah minimum provinsi. “Hal itu ditujukan sebagai jaring pengaman sosial bagi para pekerja. Lagipula upah minimun provinsi diterapkan bagi pekerja baru dari bulan ke-1 hingga bulan ke-12. Untuk bulan ke-13 perusahaan wajib memberikan upah sesuai dengan upah minim regional daerah masing-masing,” katanya dalam keterangan di Jakarta, Rabu (27/5)

Lalu berkaitan dengan hilangnya pesangon, Bambang mengatakan, di dalam Omnibus Law akan ada kompensasi sebesar pesangon yang diberikan kepada para pekerja kontrak. Sedangkan dalam UU yang lama, kata dia, tidak ada namanya kompensasi bagi pekerja kontrak. Namun ia melihat nilai pesangon yang diberikan itu lebih kecil daripada UU sebelumnya.

“Data Kemenaker hanya 30 persen pesangon yang bisa diberikan oleh pengusaha. Jadi wajar bila saat ini akan diubah skema pesangon lebih kecil. Sehingga dengan begitu semua perusahaan akan dijamin bisa memberikan pesangon 100 persen kepada pekerja tetap,” ujarnya.

Mengenai kebijakan outsourcing seumur hidup dan karyawan seumur hidup, Bambang mengatakan hal itu tidak benar karena aturan outsourcing dalam Omnibus Law tetap diatur sedemikian rupa agar tetap menguntungkan pekerja.

“Di dalam Omnibus Law ini memberikan kepastian perlindungan bagi pekerja kontrak (outsourcing) yang masih terikat kontrak kemudian ter-PHK, maka akan mendapatkan kompensasi 1 bulan gaji dengan catatan sudah bekerja selama 1 tahun.”

Bambang juga menyingung tentang isu tenaga kerja asing, terutama buruh kasar akan bekerja di Indonesia dengan bebas. Padahal kenyataannya, kata dia, tenaga kerja asing semakin diperketat untuk bisa bekerja di Indonesia.

“Untuk bisa bekerja di Indonesia, tenaga kerja asing harus bisa menunjukkan sertifikasi dari perusahaan sponsor. Hal itu untuk membuktikan kompetensi yang dimiliki. Kemudian tenaga kerja asing juga harus dapat alih teknologi atau transfer kelimuan kepada pekerja Indonesia,” kata peneliti dari LPPM UNU Yogyakarta.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement