Ahad 10 May 2020 14:54 WIB

SIT Al Iman Gelar Diskusi Budaya Literasi

SIT Al Iman tingkatkan program Al Iman Reading System untuk siswa dan guru.

: Sekolah Islam Terpadu (SIT) Al Iman menggelar diskusi literasi yang menampilkan nara sumber pakar pendidikan dan penulis, Jumat (8/5).
Foto: Dok SIT Al Iman
: Sekolah Islam Terpadu (SIT) Al Iman menggelar diskusi literasi yang menampilkan nara sumber pakar pendidikan dan penulis, Jumat (8/5).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Dunia pendidikan membutuhkan buku pelajaran yang ditulis oleh penulis yang peduli pada dunia anak, dikemas secara kreatif sehingga mudah dicerna oleh logika anak, karena pada dasarnya pendidikan adalah untuk mereka. Hal itu mengemuka dalam diskusi daring tentang budaya literasi yang digelar oleh Sekolah Islam Terpadu (SIT) Al Iman, Bojonggede, Bogor, Jawa Barat, Jumat (8/5).

Afrizal Sinaro, Ketua Yayasan Perguruan Al Iman mengatakan diskusi ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan budaya literasi dan evaluasi pelaksanaan program Al Iman Reading System yang untuk awal ditujukan bagi para guru TK, SD, dan SMP Islam Terpadu Al Iman. “Untuk mendukung pengembangan budaya literasi di SIT Al Iman kami  bekerja sama dengan Nurul Fikri Education Center (NFEC) sebagai pengembang program School Reading System,” ujar Afrizal dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (8/5).

AfrizaI menambahkan pada tahun pelajaran 2020/2021 program ini akan dijalankan untuk semua murid SD dan SMP. Program Al Iman Reading System ini bertujuan untuk mendorong anak senang membaca, meningkatkan kemampuan memahami bacaan dan kemampuan berkomunikasi.

Diskusi budaya literasi menghadirkan tiga narasumber, yaitu Direktur NFEC, Rahmat Syehani;  Cerpenis dan wartawan senior Republika, Irwan Kelana;  dan Direktur Institut IndonesiaBermutu (IIB), Zulfikri Anas.

Rahmat mengatakan bahwa budaya membaca masyarakat Indonesia  mengalami kemunduran, skornya sama dengan membaca 18 tahun lalu. “Budaya membaca di masyarakat kita telah bergeser menjadi membaca instan. Cirinya betah membaca chat di medsos hingga 5-6 jam yang menyuguhkan informasi instan dan simple. Banyak mengandung informasi yang fallacy logic --sepertinya benar tapi logika yang dibangun salah, dan kebanyakan mewujud dalam bentuk hoax yang hasil akhirnya melemahkan nalar,” ujar Rahmat.

Lebih lanjut, Rahmat memaparkan hasil riset program Scholol Reading System. Siswa dapat meningkatkan kemampuan memahami bacaan, meningkatkan daya ingat, dan memperkaya kosa kata. Melalui membaca buku dan artikel siswa juga dapat mengembangkan kemampuan analisis, meningkatkan kemampuan konsentrasi dan fokus, mengembangkan mindset, meningkatkan kemampuan komunikasi, dan keterampilan menulis.

“Membaca adalah sumber segala ilmu, bisa menyelesaikan berbagai macam masalah. Kemampuan membaca tinggi akan diikuti tingkat adaptabilitas yang tinggi menghadapi berbagai macam situasi,” papar Rahmat.    

Tampil sebagai pembicara kedua, Irwan Kelana berbagi pengalaman pergulatan literasinya yang tumbuh sejak usia sekolah dasar. Mengaku ditakdirkan Allah senang membaca sejak kecil dan kelas 3 SD sudah membaca buku fenomenal karya Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. “Minat saya pada sastra diturunkan dari ayah, seorang petani dan penjahit yang menyenangi sastra. Membaca berbagai genre novel membuat kita cerdas,” tutur Irwan yang megoleksi ratusan novel dari berbagai penulis dalam dan luar negeri di perpustakaan pribadinya. 

Budaya membaca yang terbangun dengan baik sejak kecil memuluskan jalannya menjadi penulis. Saat duduk di kelas 2 SMA Ia berhasil meraih juara 2 lomba menulis yang diadakan oleh koran lokal ternama waktu itu. Prestasi yang diraih membuka lembaran baru dalam dunia literasi tulis dan karya-karyanya mulai menghiasi koran lokal dan nasional. Selama kuliah di Fakultas Peternakan IPB, ia berhasil memenangkn tujuh kali lomba karya tulis, cerpen dan novel.

Irwan menggambarkan dirinya sebagai pembaca aktif. Bolpoin tinta merah selalu menemani aktivitas membacanya untuk menandai atau memberi komentar pada bagian yang penting. Kegunaannya suatu saat dibutuhkan ketika mau menulis artikel atau buku,  mudah menemukannya. “Kalau kita rajin menulis,  kita rajin membaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik,” tutur Irwan. 

Irwan juga penulis resensi aktif, dan menargetkan dalam seminggu menulis 2 resensi buku. “Menulis membuat kita lebih detail memperhatikan sesuatu. Anak-anak kita dorong membaca, dan guru kita dorong membaca dan menulis,” ujarnya.

Zulfikri Anas pembicara pemungkas tampil memukau memaparkan konsep literasi penuh. Menurutnya membaca adalah fitrah bagi manusia yang sudah satu paket diberikan oleh Allah SWT sejak manusia  lahir. Janin yang sudah ditiupkan roh adalah seorang pembaca, kemudian ketika lahir ia sangat membaca situasi. “Potensi untuk membaca sudah ada, diturunkannya ayat tentang iqro karena ada potensi membaca di dalam diri manusia,” ujarnya.

Zulfikri mengilustrasikan proses anak membaca dengan mengemukakan hasil penelitian, bahwa ketika seorang ibu menyusui anaknya sambil melakukan aktivitas lain maka tekanan anak lebih kuat sebagai isyarat bahwa anak tidak mau terganggu oleh aktivitas lain saat ia sedang berkomunikasi batin dengan ibunya.

Perbedaan manusia dengan makhluk lain adalah rasa ingin tahu terhadap sesuatu yang baru. Secara menarik, Zulfikri lebih lanjut menjelaskan aktivitas anak membaca. Seorang anak yang bermain dan jenuh dengan mainannya kemudian menggantinya dengan mainan lain dari kotak tempat mainan pada dasarnya anak sedang membaca.

Ketika anak sudah bisa bicara dan mulai bertanya tentang apapun yang dia lihat karena dia membaca situasi yang ada di sekitarnya. “Nah di situ kadang kita mematikan minat bacanya dengan mencap sebagai anak bawel, banyak tanya dan lain sebagainya. Jadi tanpa disadari hal itu terjadi sejak kecil ketika anak mendapat intervensi dari orang dewasa (lazimnya orang tua sendiri),” kata Zulfikri.

Ia menambahkan, kondisi ini diperparah ketika anak masuk sekolah. Anak diharuskan hanya membaca buku-buku yang ditulis oleh penulis yang tidak memposisikan diri seperti anak SD. “Pemilihan diksi mungkin menggunakan frasa yang bisa dibaca oleh anak-anak tetapi logika yang digunakan adalah logika orang dewasa. Hal ini membuat anak jenuh dan hilang minat bacanya,” kata Zulfikri. 

Karena itu, klata Zulfikri, perlu dilakukan penelitian mendalam untuk mengetahui penyebab hilangnya minat baca pada anak. Padahal fitrah manusia yang diberikan Allah adalah haus informasi dan kemampuan membaca sejak dalam rahim. Akan teapi kenapa ketika masuk dunia pendidikan hilang hasrat membacanya.

Zulfikri menambahkan, hilangnya minat baca adalah tantangan sekaligus peluang bagi  untuk menyediakan buku pelajaran yang bisa menggugah dan menyentuh hati anak. Mungkin ditulis dengan cara komik atau cara bercerita atau kisah. “Tugas kita bagaimana merancang buku pelajaran/bahan bacaan yang mudah dipahami oleh anak, karena pada dasarnya dunia pendidikan adalah dunia mereka. Kita harus masuk ke dunia anak bukan menggiring anak masuk ke dunia kita,” pungkas Zulfikri. 

Gagasan Zulfikri bak gayung bersambut, penerbit Al Mawardi Prima telah menerbitkan buku bercerita Jurangn Pisang, karya Irwan Kelana. Sebuah buku sains untuk kelas 1-3 SD yang sangat menarik dibaca oleh anak-anak layaknya menikmati cerpen. Selain mendapatkan pengetahuan, anak-anak juga memperoleh pembelajaran karakter yang diselipkan dalam alurnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement