Ahad 03 May 2020 15:20 WIB

Hukum Menimbun Barang Dagangan Menurut Syekh Yusuf Qaradhawi

Syekh Yusuf Qaradhawi menjelaskan soal hukum menimbun barang dagangan.

Rep: Ferry Kishihandi/ Red: Muhammad Hafil
Hukum Menimbun Barang Dagangan Menurut Syekh Yusuf Qaradhawi. Foto: Syekh Yusuf al-Qaradhawi
Hukum Menimbun Barang Dagangan Menurut Syekh Yusuf Qaradhawi. Foto: Syekh Yusuf al-Qaradhawi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan saat puasa Ramadhan maupun menjelang Idul Fitri. Lonjakan harga itu juga termasuk pada beras. Masyarakat mengeluhkan melambungnya harga itu. Pengamat bahkan menduga terjadi penimbunan oleh pedagang. Tujuannya tentu untuk mengeruk keuntungan berlimpah. Bagaimana Islam merespons penimbunan barang dagangan?

Yusuf Al Qaradhawi dalam Fatwa-fatwa Kontemporer, menegaskan, jangan menimbun barang dagangan ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan tujuan memperoleh laba berlimpah. Sebab, itu merupakan perbuatan yang haram. Larangan ini mencakup semua barang dagangan. Tak hanya bahan-bahan pokok.

Baca Juga

Ia mengutip hadis Rasulullah mendukung argumennya. "Tidak akan menimbun kecuali orang yang berbuat dosa," demikian hadis yang diriwayatkan Muslim dan Abu Daud. Predikat khati'un  atau orang yang berbuat dosa, jangan dianggap perkara sepele. Allah SWT menyebut Fir'aun dan Hamman dan tentaranya dengan sebutan yang sama.

Dalam Al Qashash ayat 8, Allah mengatakan bahwa sesungguhnya Fir'aun dan Hamman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Pandangan yang sama juga disampaikan Sayyid Sabiq yang tertuang dalam bukunya Fiqih Sunnah. Ia beralasan, menimbun dilandasi sifat tamak dan akhlak rendah serta merugikan kepentingan publik.

Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Ahmad Hakim, Ibnu Abi Syaibah, dan al Bazzaz, mengungkapkan, orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari maka telah lepas dari Allah dan Allah telah berlepas dari orang tersebut. Julukan bagi penimbun selain orang berdosa adalah sejelek-jeleknya orang.

Melalui kitabnya, Jami, Razin menggambarkan perkataan Rasulullah mengenai para penimbun barang. Sejelek-jelek hamba adalah penimbun barang. Jika mereka mendengar barang maka tak akan senang. Sebaliknya, saat harga barang menjadi mahal maka kegembiraan menyelimuti mereka.

Menurut Sayyid Sabiq, sejumlah ahli fikih menetapkan batasan kapan penimbunan barang dinyatakan haram. Ada sejumlah kategori, yaitu pertama, barang yang ditimbun lebih dari yang dibutuhkan untuk kebutuhan setahun penuh. Seseorang diizinkan menimbun nafkah pangan bagi diri dan keluarganya selama satu tahun.

Kedua, pemilik barang yang ditimbun menunggu terjadinya kenaikan harga barang. Maka itu, ia menjual barang tersebut dengan harga lebih tinggi. Ia mendapatkan keuntungan sangat tinggi. Dan ketiga, penimbunan dilakukan pada saat masyarakat sangat membutuhkan barang itu.

Misalnya, makanan, pakaian, dan barang lain yang sangat dibutuhkan. Menurut Sayyid Sabiq, jika barang-barang yang ada pada para pedagang itu  tak dibutuhkan masyarakat maka bukan dianggap sebagai penimbunan. Dengan alasan, tak membuat kesulitan bagi publik.

Para pedagang juga diingatkan untuk menyempurnakan takaran barang yang dijualnya. "Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil." Demikian Allah SWT menyatakan dalam Al An'am ayat 152. Di surat lainnya, yaitu Al Israa ayat 35, juga menegaskan hal yang sama.

Dalam surat tersebut, para pedagang dituntut untuk menyempurnakan takaran dan menimbang dengan neraca yang benar. Hal itulah yang lebih utama dan lebih baik akibatnya. Allah pun melarang para pedagang mempermainkan dan berbuat curang ketika menakar dan menimbang.

Rasulullah menganjurkan pedagang melebihkan jumlah timbangan. Suwaid bin Qais, dalam riwayatnya mengatakan, ia dan Makhrafah al Abadi pernah mendatangkan beberapa pakaian dari tanah Hajar ke Makkah. Rasulullah melintas dan keduanya menawarkan sebuah celana. Rasulullah pun membelinya.

Kala itu, ada seseorang yang sedang menimbang barang, kemudian Muhammad SAW mengatakan, "Timbanglah dan lebihkan." Hadis ini diriwayatkan oleh Turmuzi, An Nasai, dan Ibnu Majah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement