Ahad 26 Apr 2020 03:24 WIB

Puasa Ramadhan, Wujud Aktualisasi Diri Orang Beriman

Amalan puasa Ramadhan pada hakikatnya hanya diketahui oleh Allah dan si pelakunya.

Puasa Ramadhan, Wujud Aktualisasi Diri Orang Beriman (Ilustrasi)
Foto: REUTERS/Adnan Abidi
Puasa Ramadhan, Wujud Aktualisasi Diri Orang Beriman (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bambang Wahyu Nugroho*)

Abraham Maslow merupakan seorang psikolog Amerika Serikat (AS) yang tenar dengan teorinya, hirarki kebutuhan manusia. Menurut Maslow, kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat.

Baca Juga

Yang paling rendah disebut sebagai kebutuhan fisiologis. Contohnya, pangan, sandang, dan papan. Itu semua harus terpenuhi lebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Di atasnya adalah kebutuhan akan rasa aman. Di atasnya lagi, ada kebutuhan bersosialisasi dan kebutuhan akan penghargaan. Yang paling puncak adalah aktualisasi diri.

Mengutip Kamus Oxford, aktualisasi diri adalah keinginan seseorang untuk menggunakan seluruh kemampuan dirinya untuk mencapai apa pun yang mereka mau dan bisa lakukan.

Dalam perkembangannya, teori Maslow ini juga mendapatkan kritik. Hal ini disebabkan adanya sebuah loncatan pada piramida kebutuhan Maslow yang paling tinggi, yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Itu pada kenyataannya tidak harus melampaui pemenuhan atas keempat kebutuhan yang lebih rendah di bawahnya.

Puasa sebagai aktualisasi diri

Jika kita setuju pada definisi aktualisasi diri (“keinginan seseorang untuk menggunakan seluruh kemampuan dirinya untuk mencapai apa pun yang mereka mau dan bisa lakukan”), keinginan seorang hamba yang beriman kepada Allah SWT untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan pun merupakan sebentuk aktualisasi diri.

Sebab, hamba Allah itu dengan kesadaran dirinya mengerahkan kemampuan untuk bersabar dan menahan diri dengan berpuasa demi mencapai derajat seorang Mukmin.

Ya, puasa adalah aktualisasi diri umat beriman, tanpa memandang apakah kebutuhan-kebutuhan lainnya telah terpenuhi.

Buktinya, Islam mengajarkan agar kita berpuasa ketika sedang kekurangan pangan, tak berpakaian pantas pakai, atau tinggal di pengungsian.

Contoh lain, Islam mengajari kita untuk berpuasa tatkala kita belum mampu menikah. Puasa juga dilakukan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya justru ketika situasi sedang tidak aman. Misalnya, selama Pertempuran Khandaq pada bulan Syawwal tahun kelima Hijriah (627 Masehi).

Untuk berpuasa pula, kita tidak perlu harus memenuhi kebutuhan sosialisasi. Bahkan, tak harus diketahui orang lain. Allah SWT menyatakan dalam hdis qudsi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ

“Seluruh amalan anak Adam adalah untuk mereka sendiri, kecuali puasa. Sungguh, ibadah puasa itu untuk-Ku. Akulah yang langsung akan memberikan imbalannya. Puasa adalah perisai.”

Mengharap ridha Allah semata

Puasa merupakan amalan yang hakikatnya tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT dan orang yang mengamalkannya. Puasa adalah ibadah yang paling rahasia antara hamba dan Tuhannya.

Kembali pada argumen Maslow di atas, bayangkanlah, orang yang berpuasa secara sadar memangkas kebutuhan fisiologi dasarnya--berupa makanan dan minuman. Sampai jangka waktu tertentu, hal itu dilakukan sehingga menimbulkan rasa welas-asih dan kesetiakawanan kepada sesama manusia.

Perasaan itu diejawantahkan dalam ibadah-ibadah, semisal sedekah, infak, dan zakat. Kemudian, aktualisasi ibadah puasa juga tidak harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan akan penghargaan diri (self-esteem). Tidak ada gelar atau wisuda bagi orang yang berpuasa.

Jika dalam bulan Ramadhan seorang hamba beruntung mendapatkan lailatulqadar pun, itu semata-mata merupakan rahasia terdalam antara dirinya dan Allah SWT.

Kesimpulannya, puasa adalah aktualisasi diri orang beriman, yang merupakan kebutuhan puncak dari semua ritual bukti cinta dan bakti kita kepada Allah SWT.

Dalam satu ungkapan bijak dikatakan bahwa, “untuk berbagi cukup dengan kekayaan hati tidak perlu harus memiliki kekayaan harta duniawi.” Wallahu a’lam bishawab.

Selamat melaksanakan ibadah shaum Ramadhan 1441 hijriyah!

 

*) Bambang Wahyu Nugroho SIP MA merupakan dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement