Selasa 21 Apr 2020 10:01 WIB
Hari Kartini

RA Kartini Dipengaruhi Ide Feminis dan Gerakan Misionaris?

Kartini menyatakan tidak menyukai praktik poligami

Kartini dan keluarganya
Foto:

Sementara itu, ada dua koresponden Kartini yang tampaknya ikut memengaruhi pikiran keagamaan Kartini. Yang utama, Nellie van Kol (1851-1930), istri pimpinan Partai Buruh Sosialis Demokrat Henri van Kol (1852-1925) yang juga anggota parlemen Belanda.

Nellie sempat tinggal di Jawa pada 1880-an. Ia juga salah satu tokoh berpengaruh dalam gerakan feminis Belanda. Menurut Joost Cote, saat bersurat dengan Kartini, Nellie juga aktif dalam gerakan misi Kristen Evangelikal. Kartini kerap menyebutkan pengaruh Nellie dalam pemikirannya tentang Tuhan, utamanya setelah terkesan selepas bertemu langsung pada April 1902.

Sementara Henri van Kol, setelah kembali ke Belanda, memimpin pergerakan reformasi politik kolonial melalui parlemen. Ia juga pendorong utama Politik Etis dan menganggap Kerajaan Belanda memiliki tugas moral mengangkat harkat pribumi. Henri juga yang berperan penting mengupayakan agar Kartini bisa bersekolah di Belanda.

Tokoh kedua tempat Kartini mendiskusikan persoalan agama adalah seorang misionaris Kristen yang tengah menjalankan misi di Poso, Sulawesi Tengah, Nicolaus Adriani (1865-1926). Mereka bertemu pada 1900 saat Adriani diundang keluarga Abendanon.

 

 

Kartini agaknya banyak mendapat materi-materi tentang agama Kristen dari Adriani. Joost Cote secara spesifik menjelaskan misi Nicolaus di Poso saat itu memang untuk mencoba menahan Islam yang kian tersebar.

Tokoh yang juga tercatat pernah disurati Kartini adalah Profesor Gustaf Anton (1864-1924), dari Jerman. Ia merupakan rekan Jacques Abendanon yang sempat singgah di Jepara.

Menurut Cote, sangat terbuka kemungkinan Kartini bersurat dengan pihak-pihak lain. Namun, surat-surat itu sebagian juga tak diterbitkan. Kartini mestinya bersurat dengan pribumi di Indonesia karena ia mengenal Agus Salim, seorang siswa cerdas dari Padang. Kartini juga pasti bersurat dengan abangnya yang termashyur, Sukartono, yang tengah menempuh pelajaran di Belanda kala itu.

Cote menilai, ketiadaan surat-surat kepada Kartono dalam publikasi meski pernah dipinjam Jacques Abendanon menandakan sifat asli publikasi surat-surat Kartini yang memang dipilah-pilah. Yang juga tampaknya curang dalam penerbitan surat-surat Kartini adalah ketiadaan dokumentasi lengkap soal balasan pihak-pihak yang disuratinya.

Dengan hal itu, yang dilakukan Kartini terbaca, seperti monolog yang keluar murni dari kepalanya. Padahal, kita paham dari surat-suratnya, Kartini dijejali dengan novel-novel, majalah, kumpulan puisi, bahkan sangat mungkin Injil dari para penerima suratnya.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement