Ahad 12 Apr 2020 19:32 WIB

Ini Penjelasan Vulkanolog ITB tentang Suara Dentuman

Dentuman bisa terjadi salah satunya karena aktivitas magma dari suatu gunung api.

Abu vulkanik Gunung Anak Krakatau terlihat dari pinggir pantai di Desa Pasauran, Serang, Banten, Sabtu (11/4/2020). Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi pada Jumat (10/4) pukul 21.58 WIB dengan tinggi kolom abu mencapai sekitar 200 meter dengan status Waspada (level II).
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Abu vulkanik Gunung Anak Krakatau terlihat dari pinggir pantai di Desa Pasauran, Serang, Banten, Sabtu (11/4/2020). Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi pada Jumat (10/4) pukul 21.58 WIB dengan tinggi kolom abu mencapai sekitar 200 meter dengan status Waspada (level II).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Vulkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Eng Mirzam Abdurrachman, ST MT memberikan penjelasan terkait suara dentuman yang terjadi di DKI Jakarta, Bogor, dan Depok pada 11 April 2020. Mirzam menjelaskan sampai saat ini belum diketahui secara pasti sumber asal suara dentuman tersebut.

Namun, Mirzam mengatakan, suara dentuman bisa terjadi salah satunya karena aktivitas magma dari suatu gunung api akibat perpindahan magma secara tiba-tiba dari dapur magma ke lokasi yang lebih dangkal. Menurut dia, kejadian ini mengakibatkan terjadinya kekosongan dan ambruknya dapur magma dalam sehingga menghasilkan dentuman dan getaran di daerah sekitarnya.

Baca Juga

Fenomena yang sering juga disebut underground explosion ini bisa dan tidak selalu diikuti oleh suatu erupsi gunung api. "Namun, hal tersebut masih perlu mendapat dikaji terlebih dahulu dengan data kegempaan serta perubahan temperatur dan pelepasan gas dari gunung-gunung di sekitar Jabodetabek juga Gunung Anak Krakatau," ujarnya dalam siaran pers Humas ITB, Ahad (12/4).

Dia mengatakan, hipotesis tersebut didasarkan pada peristiwa serupa yang terjadi di tiga gunung api di tiga negara, yaitu Gunung Api Miyakejima Jepang (tahun 2000), Gunung Piton de La Fournaise Pulau Reunion (tahun 2007), dan gunung di Kepulauan Mayotte Prancis (tahun 2018). Dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB tersebut memastikan bahwa hipotesis atau dugaan tersebut masih perlu dikaji dan dibuktikan, apakah dentuman keras misterius tersebut mempunyai hubungan dengan erupsi Gunung Anak Krakatau pada Jumat lalu.

Terletak di Selat Sunda Provinsi Lampung, Gunung Anak Krakatau berada di antara Pulau Panjang, Sertung, dan Pulau Rakata. Dia menjelaskan, letusan Gunung Anak Krakatau termasuk tipe 'strombolian' dan 'vulkanian' yang memiliki energi letusan tergolong rendah hingga sedang.

Berdasarkan data Volcanic Explosivity Index (VEI), Gunung Anak Krakatau memiliki nilai VEI 2-3, yang artinya tergolong rendah hingga sedang.

Dr Mirzam Abdurrachman mengatakan, Gunung Anak Krakatau baru muncul ke permukaan sejak tahun 1927. "Sejak tahun tersebut, Gunung Anak Krakatau tumbuh besar dan memesona," ujar Mirzam.

Gunung Anak Krakatau adalah sisa sejarah panjang letusan Krakatau Purba yang berlangsung sejak abad ke-5, hingga letusan pada tahun 1883 yang hanya menyisakan Rakata, Panjang, dan Sertung.

Hampir setiap tahun, Gunung Anak Krakatau memperlihatkan aktivitas vulkanisme. Pola letusannya pun kini tercatat semakin teratur sejak tahun 2008.

Letusan eksplosif dan efusi tersebut datang silih berganti setiap dua tahun sekali dan membentuk sebuah pola. Sampai saat ini, tingkat aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau masih tetap pada Level II (Waspada).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement