Jumat 27 Mar 2020 10:31 WIB

Kapan Niat Shalat Dilakukan?

Berikut penjelasan dari empat mazhab terkait kapan niat shalat dilakukan.

Kapan Niat Shalat Dilakukan? (ilustrasi). FOTO: Sejumlah jamaah dari berbagai negara mendirikan shalat di Masjid Qiblatain, Madinah, Senin (15/7). Sebelum ke Makkah saat puncak haji, jamaah yang berada di Madinah memanfaatkan waktu yang ada untuk berziarah ke sejumlah tempat bersejarah, seperti Masjid Qiblatain, Masjid Quba, Masjid al-Ghamamah, dan lainnya.
Foto: Republika/Syahruddin El-Fikri
Kapan Niat Shalat Dilakukan? (ilustrasi). FOTO: Sejumlah jamaah dari berbagai negara mendirikan shalat di Masjid Qiblatain, Madinah, Senin (15/7). Sebelum ke Makkah saat puncak haji, jamaah yang berada di Madinah memanfaatkan waktu yang ada untuk berziarah ke sejumlah tempat bersejarah, seperti Masjid Qiblatain, Masjid Quba, Masjid al-Ghamamah, dan lainnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Niat adalah kebulatan hati untuk melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itulah pula hakikat keikhlasan.

Kebulatan hati ini dapat terpenuhi walaupun tidak diucapkan (dilafazkan). Oleh karena itu, niat tidak harus diucapkan (dilafazkan).

Baca Juga

Para ulama sepakat, niat dalam salat hukumnya wajib. Hal ini antara lain berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Bayyinah ayat lima ("Mereka tidak diperintah kecuali beribadah kepada Allah dalam keadaan ikhlas/memurnikan ketaatan kepada-Nya"). Selain itu, hadis Rasul SAW yang mengatakan, syarat atau kesempurnaan amal adalah adanya niat.

 

Menurut empat mazhab

Menurut mazhab Hanafi, Hambali, dan mayoritas ulama mazhab Maliki, niat shalat adalah syarat. Artinya, niat tidak termasuk bagian dari shalat.

Menurut mazhab Syafi'i dan sebagian ulama Maliki, niat shalat wajib terpenuhi dalam shalat, yakni pada awal salat. Oleh karena itu, mereka menamainya rukun shalat.

Mazhab Abu Hanifah mensyaratkan bersambungnya niat dengan takbiratul ihram (takbir), dan tidak boleh ada sesuatu selain aktivitas yang berkaitan dengan shalat yang memisahkan antara niat dan takbir itu. Kalau yang memisahkannya amalan shalat--seperti berwudhu atau berjalan menuju ke masjid--maka niat shalat itu yang dilakukan sebelum berwudhu atau pergi ke masjid masih berlaku. Maka, yang bersangkutan dapat shalat dengan mengucapkan takbir, walaupun ketika itu ia tidak berniat lagi. Bagi mazhab Abu Hanifah, niat tidak harus bersamaan dengan takbir.

Mazhab Hambali hanya menggarisbawahi, niat shalat boleh dilakukan sebelum takbir, asalkan tidak ada tenggang waktu yang lama antara niat dan takbir itu. Ulama-ulama mazhab Hambali beralasan, menyatukan niat dengan takbir merupakan sesuatu yang menyulitkan, padahal Allah SWT telah berfirman: "Dia (Allah) tidak menjadikan atas kamu dalam urusan agama sedikit kesulitan pun" (QS 22: 78).

Mazhab Maliki mewajibkan yang shalat menghadirkan niatnya saat takbiratul ihram atau sesaat sebelumnya.

Adapun ulama-ulama bermazhab Syafi' i mewajibkan terlaksananya niat bersamaan dengan aktivitas shalat, paling tidak pada awal shalat--saat takbiratul ihram. Sebab, niat adalah maksud hati yang berbarengan dengan aktivitas. Jika maksud tersebut dihadirkan sebelum aktivitas, maka namanya bukan niat, melainkan azam. Kesimpulannya, niat shalat harus bersamaan dengan takbiratul ihram, bukan sebelumnya dan bukan pula sesudahnya. Niat itu pun tak mesti diucapkan (dilafazkan).

Seseorang yang melaksanakan shalat dengan mengucapkan, misalnya "Saya niat shalat, Allahu Akbar saya niat," maka ucapan "saya niat" yang kedua ini membatalkan shalatnya. Sebab, ini merupakan ucapan yang tidak dibenarkan untuk diucapkan dalam shalat.

Wallahu a’lam bis-shawab

 

sumber : Tanya jawab fikih Koran Republika bersama Quraish Shihab.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement