Jumat 06 Mar 2020 14:29 WIB

Gencatan Senjata di Suriah tak Ubah Kebijakan Pengungsi

Pihak yang berkonflik di Suriah, Turki dan Moskow setuju gencatan senjata.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Tentara dan tank Turki disiagakan di dekat Kota Manbij, Suriah, Selasa (15/20).
Foto: Ugur Can/DHA via AP
Tentara dan tank Turki disiagakan di dekat Kota Manbij, Suriah, Selasa (15/20).

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Sumber-sumber kepresidenan Turki mengatakan, kesepakatan gencatan senjata antara Turki dan Rusia di Idlib, Suriah tidak serta merta mengubah kebijakan tentang pengungsi. Hal itu menyusul gelombang pengungsi yang hampir tak terbendung di Turki.

"Perjanjian Turki - Rusia tidak mengharuskan kembalinya perubahan yang dibuat pada kebijakan pengungsi Turki, dan juga tidak mengubah fakta ketidakpatuhan Uni Eropa dengan janji-janjinya sebagai bagian dari kesepakatan pengungsi 2016," kata sumber-sumber tersebut dikutip Anadolu Agency, Jumat (6/3).

Baca Juga

Sumber-sumber yang tidak menyebutkan jati dirinya itu mengatakan, Uni Eropa harus mengambil langkah serius dalam kerja sama dengan Turki menyoal pengungsi Suriah, bukan malah melawan Turki. Tujuannya, kata mereka, tidak lain untuk mengakhiri krisis kemanusiaan di Suriah.

"Kesepakatan yang dicapai hari ini menunjukkan bahwa diplomasi kepemimpinan membuahkan hasil. Rusia telah memilih untuk menyetujui agar tidak mengorbankan hubungan multidimensi kita untuk ambisi dan keinginan rezim," kata mereka.

Mereka mengatakan, pembicaraan kedua pemimpin bersama dengan delegasi masing-masing negara berjalan positif. Dalam pertemuan kedua pemimpin, Putin mengungkapkan belasungkawa kepada Erdogan atas kesyahidan terbunuhnya anggota dari pasukan Turki dalam serangan rezim pekan lalu. Namun demikian, sumber-sumber mengatakan Erdogan membuat sikap bahwa jika tidak ada kesepakatan, Turki akan menghilangkan unsur-unsur rezim dari Idlib melalui caranya sendiri.

Turki sempat mengumumkan Operasi Spring Shield pada Ahad lalu setelah setidaknya 34 tentara Turki terbunuh dalam serangan udara rezim Assad di Idlib pada akhir Februari lalu. Meskipun sejak 2018 Idlib menjadi zona de-eksalasi, pertempuran tak kunjung berhenti.

Pada akhir pembicaraan di Moskow, sumber-sumber kepresidenan Turki mengatakan, kebijakan luar negeri independen Turki mencapai kesuksesan baru. Turki mengadakan negosiasi dengan Rusia dengan baik dan juga menjamu Utusan Khusus AS untuk Suriah James Jeffrey di Istanbul pada hari yang sama.

"Kami melindungi kepentingan nasional kami dengan mencegah gelombang migran baru yang tidak teratur yang datang dari Suriah dan kami telah membuat Barat, terutama Amerika Serikat, mendukung kami," kata sumber itu.

"Turki telah menunjukkan tekadnya untuk masa depan Suriah dengan memberikan pukulan berat kepada rezim Assad dengan sumber dayanya sendiri. Sekarang dipahami dengan baik bahwa setiap serangan terhadap tentara Turki tidak akan dibiarkan begitu saja," ujar sumber itu menambahkan.

Mereka juga mencatat bahwa Turki menunjukkan bahwa itikad Turki yang tidak memungkinkan negara-negara Barat untuk mendikte kondisi di Idlib. Ini pun, kata mereka, menekankan bahwa indsutri pertahanan Turki telah membuktikan upayanya dalam krisis Idlib.

Menurut mereka, perjanjian Turki-Rusia bukanlah halangan bagi AS dan Uni Eropa untuk mendukung Turki. Langkah-langkah membangun kepercayaan seperti penyebaran sistem pertahanan udara dan pembagian intelijen harus dilakukan.

"Kita tidak boleh lupa bahwa lebih dari 3 juta warga sipil masih terjebak di daerah kecil di Idlib. Risiko migrasi tidak teratur dari wilayah ini terus berlanjut. Negara-negara Eropa seharusnya tidak memberikan kesempatan kepada Rusia untuk menggunakan migran sebagai senjata melawan demokrasi Eropa. Apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir telah mengungkapkan perlunya komprehensif dan mendalam solusi untuk krisis kemanusiaan di wilayah ini," kata sumber tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement