Kamis 05 Mar 2020 15:38 WIB

Mahfud Anggap Permintaan Uang Tebusan Abu Sayyaf Biasa

Abu Sayyaf selalu meminta uang saat menyandera WNI.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukkam) Mahfud MD.
Foto: Antara/Jojon
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukkam) Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyebut permintaan sejumlah uang sebagai tebusan warga negara Indonesia (WNI) merupakan hal biasa dilakukan kelompok teroris Abu Sayyaf. Meski begitu, ia akan mencari informasi lebih lanjut tentang permintaan itu.

"Hari ini mau saya cari informasinya dan biasa sih Abu Sayyaf, hanya berubah angkanya saja sekarang. Setiap kali menyandera orang selalu minta uang," ujar Mahfud di Jakarta Pusat, Kamis (5/3).

Baca Juga

Berdasarkan kabar yang beredar, kelompok teroris Abu Sayyaf di Selatan Filipina meminta tebusan 30 juta Peso atau sekitar Rp 8,4 miliar untuk lima WNI yang mereka sandera. Kelima WNI tersebut disandera sejak Januari lalu.

Sebelumnya, Mahfud mengatakan, ada banyak pemikiran untuk menyelesaikan masalah penculikan WNI oleh kelompok teroris Abu Sayyaf. Salah satunya, memberi rekomendasi kepada Malaysia agar tak berlayar di wilayah rawan perompak.

"Itu salah satu pemikiran. Banyaklah pemikirannya. Itu kan aneh juga baru bebas tiga, diambil lima lagi," ujar Mahfud di Kemenko Polhukam, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (20/1).

Terkait proses pembebasan kelima WNI yang diculik oleh kelompok Abu Sayyaf, Mahfud akan mendiskusikan situasi terkini terlebih dahulu dengan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Menurutnya, kejadian penculikan tersebut merupakan masalah keamanan di wilayah laut negara lain. "Kendala utamanya (penculikan terus terjadi) karena Abu Sayyaf ndak mati-mati," jelas dia.

Di samping itu, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan, Filipina, Malaysia, dan Indonesia perlu duduk bersama membahas persoalan tersebut. Pemerintah Indonesia, kata dia, perlu mendorong pemerintah Malaysia untuk lebih serius menjaga perairannya.

"Tantangannya sekarang bagaimana mempersempit ruang gerak kelompok Abu Sayyaf ini dan bagaimana menekan pemerintah Malaysia untuk lebih serius menjaga perairannya," kata Khairul, Senin (20/1).

Khairul mengatakan, kelompok Abu Sayyaf kini bukan lagi sekadar gerombolan pengacau keamanan Filipina. Operasinya sudah menyangkut tiga negara sekaligus, yakni Filipina sebagai basis, Malaysia sebagai area operasi, dan Indonesia sebagai negara yang warganya menjadi target operasi.

Menurutnya, aksi berulang di area dan dengan modus operandi yang kurang lebih sama harus menjadi pijakan dalam pembicaraan trilateral. Khairul merasa yakin hal tersebut sudah dilakukan, tapi ia mempertanyakan komitmen ketiga negara soal itu.

Ia menilai, akan percuma patroli banyak dilakukan jika salah satu pihak kendor. "Apakah semua kesepakatan dan komitmen trilateral sudah berjalan on the right track? Dan lagi-lagi jika dilihat, Malaysia menjadi yang terlemah peranannya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement