Rabu 29 Jan 2020 13:57 WIB

Riwayat Seorang Guru

Mengajar sama seperti organ tubuh, sangat sulit dan terasa sakit bila dilepaskan.

Riwayat Seorang Guru
Foto: Rendra Purnama, Republika
Riwayat Seorang Guru

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Warist Rovi

Setelah menempuh jalan dusun yang aspalnya banyak kocar-kacir, akhirnya Muni tiba lagi di gedung sekolah bercat hijau itu --tempatnya mengajar. Tas lusuh yang biasa ia gendong ke sekolah mencuatkan ujung buku yang pojoknya banyak terlipat. Meski honornya hanya Rp 150 ribu per bulan, itu tak menyusutkan niatnya untuk datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Sebagai penebus kekecewaan istrinya yang kadang marah-marah karena uang belanja kurang, sepulang mengajar, ia akan keliling kampung menawarkan jasa sebagai pemetik buah kelapa, melawan cuaca, menaklukkan ketinggian dengan tubuh gemetar, dan menempuh kulit kasar pohon yang siap menggiris betis.

Seperti biasa, setiba di sekolah, ia memarkir sepeda motor tuanya di samping kantornya yang kecil dan rapuh. Beberapa siswa yang mengenakan seragam putih dongker itu menyambut kedatangannya dengan gembira. Mereka berebut mencium tangannya, sedang beberapa siswa yang lain ogah untuk bersalaman. Bahkan, sebagian tetap bergurau, main kejar-kejaran sambil berteriak-teriak dan saling lempar, tak peduli Muni melintas di dekatnya.

Sebelum masuk kelas, sejenak Muni duduk mengipasi wajah dan lehernya de ngan selembar kertas. Kerah bajunya dibiarkan agak terbuka, hingga terlihat keringat yang bercucur mengilap. Ia bersyukur, masih bertahan mengabdi di lembaga swasta yang ada di dusun itu meski harus berhadapan dengan banyak hambatan; akses jalan yang sulit, sarana dan prasarana yang kurang memadai, ditambah lagi banyaknya siswa yang nakal. Tapi, tak terasa sudah tujuh tahun ia mengajar di sana. Tak peduli ada imbalan atau tidak, niat utamanya hanya ingin mencerdaskan siswa sekaligus mengarahkannya menjadi pribadi yang berakhlak mulia.

Bel yang terbuat dari kaleng bekas dipukul berkali-kali oleh seorang petugas. Siswa-siswi berhamburan menuju kelas dengan langkah setengah tergopoh. Beberapa di antaranya, tergesa menghabiskan jajan mereka hingga bibirnya naik-turun. Mu ni haru melihat siswa-siswinya itu. Meski usianya sudah tingkat tsanawiyah atau setara SMP, tapi mereka masih polos. Dalam arti, tak sepenuhnya tahu tentang kerumitan dan tantangan dalam hidup yang kadang membuat air mata mengucur. Muni hanya berdoa dalam dadanya, semoga anak didiknya itu kelak akan jadi orang beruntung, hidupnya tidak susah, dan bermanfaat bagi orang lain.

Sebelum masuk kelas, sejenak, ia berdiri di depan cermin. Menghapus titik air mata harunya yang sebelumnya tumpah, lalu meraih tas lusuhnya, menuju kelas dengan mengucap basmalah.

Pagi itu, ia mengajar pelajaran bahasa Indonesia di kelas VII. Setelah mengawali pelajaran sesuai RPP*), ia lanjut menerangkan materi. Siswa perempuan yang duduk di deret bangku kanan duduk rapi dengan mata tertuju ke depan. Hanya sebagian yang terlihat bisik-bisik di belakang, sedang siswa laki-laki hanya sebagian yang memerhatikan pembicaraan Muni. Mereka lebih suka bergurau dengan gerakan yang sering menggoyang bangku hingga berderit atau dengan suara nyaring dan gaduh. Bahkan, beberapa di antaranya mencibir penjelasan Muni.

Muni menegur mereka dengan cara halus. Mereka pun tenang sejenak. Tidak sampai lima menit, kegaduhan kembali terdengar. Kelas seperti suasana pasar: Muni berbicara sendiri seperti penjual jamu dengan loudspeaker-nya dan anak didiknya juga berbicara sendiri seperti para pembeli yang terlibat tawar-menawar.

"Anak-anak, coba perhatikan apa yang Bapak jelaskan. Biar kalian paham dan nanti setelah ujian tidak kebingungan. Kamu ingin naik kelas dan ingin nilai yang baik, kan?" Muni kembali mengatur suasana, sembari maju beberapa langkah hingga berdiri tepat di tengah-tengah siswa.

"Jika menginginkan nilai yang baik, ayo perhatikan! Jangan berbicara sendiri dan bergurau," imbuhnya sambil kembali maju ke depan kelas.

"Saya tidak ingin nilai baik, Pak!"

"Saya juga ingin nilai buruk, Pak."

"Tidak apa-apa meski tidak naik kelas."

"Saya juga begitu, Pak!"

Muni berdiri, memandangi mereka satu per satu. Ia berusaha meredam emosi di dadanya seraya menggeleng dan melafalkan doa.

Apa kalian tidak ingin ilmu yang bermanfaat? Yang juga bisa berguna bagi orang lain dan kelak bisa menyela matkanmu dari api neraka? tanya Muni menggunakan pertanyaan yang mengacu pada prinsip hidup yang lebih dalam.

"Tidaaaak, Pak. Ilmu tidak penting."

"Iya. Banyak kan orang sekolah jauh-jauh, pulangnya hanya jadi ketua kelompok tani. Hahaha!"

Muni mengelus dada. Meredam emosinya agar ketulusannya tetap bersemi. Ia melanjutkan pelajaran meski kelas tetap layaknya pasar. Ia kasihan kepada siswanya yang tunduk dan sebenarnya ia juga men doakan agar siswanya yang nakal segera insaf.

Materi terus berlanjut. Kegaduhan juga berlanjut disertai kata-kata yang kadang menyakiti perasaan Muni. Bahkan, kadang ada yang melemparnya diam-diam.

Tapi, Muni tetap tulus dan berusaha menyadarkan mereka perlahan meski tak jarang ia pulang dengan rasa pusing. Dan, setiba di rumah, istrinya sering meminta Muni berhenti mengajar dan lebih fokus bekerja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement