Jumat 22 Nov 2019 15:10 WIB

Wanita Sekuat Karang

.

Ibu dan anak (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Ibu dan anak (ilustrasi)

Tak pernah kulalui senja segelap sore itu. Awan bergelayut manja pada hamparan langit yang menampakkan siluet senja. Saat itu rupanya saat terakhir bagi ayah, membersamai ibu dan kami anak-anaknya. Kanker stadium akhir yang menggerogoti tubuh ayah, sudah memintanya untuk pulang, kembali pada keabadian.

Sejak saat itu, Ibu yang selama ini sudah setegar karang, makin kokoh bagai kumpulan stalaktit dan stalakmit yang mengkristal cantik di dalam gua. Berjuang untuk Aku dan kedua adikku. Ibu tampil sebagai pejuang tangguh bagi kami. Kelembutan tangannya berpadu dengan kegigihannya mencari sesuap nasi.

Ya, Ibu adalah gambaran sempurna bagiku untuk sebuah ketegaran yang menenangkan. Mengabdi sebagai guru selama puluhan tahun,  ibu tak pernah lalai terhadap tugas utamanya sebagai ibu madrasatul ula bagi ketiga anaknya.

Aku, sebagai anak sulungnya masih ingat saat ibu mengajariku sendi-sendi agama. Membaca Alquran dan doa sehari-hari yang ibu selalu ajarkan padaku membuat ku lancar mengaji dalam usia dini.

Sesuatu yang pada saat itu masih langka untuk anak seusiaku, 4 tahun. Aktivitas ibu mengajar di siang hari, tak menjadikannya berpantang pada amalan di malam hari. Permintaan para tetangga untuk mengajar mengaji para anak-anaknya, membuat rumahku kala itu ramai setiap habis Maghrib. Lantunan ayat suci Al-Quran saling bersahutan dari mulut-mulut kecil para anak tetangga.

Menjadi anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, Ibuku tak ingin menjadikanku sia-sia. Tak hanya mengaji yang Ibu ajarkan, namun juga menutup aurat sebagai sebuah kewajiban. Aku ingat betapa aku yang kala itu masih ingin bergaya dengan berbagai model sisiran rambut ala anak tahun 90-an, dinasihati supaya mulai menutup aurat. Kerudung dan baju panjang kala itu wajib kukenakan jika hendak keluar rumah. Berontak hatiku menangis sejadi-jadinya.

Namun Ibu tak bergeming, iba padaku bukan berarti dia harus menawar didikan sesuai syariat. Sebagai seorang guru, tentu beliau paham betul bagaimana pentingnya pembiasaan dalam sebuah didikan. Meski saat itu aku belum balig, namun aku harus berlatih untuk mau menutup aurat.

Diam seribu bahasa tanda berontak hatiku memaknai keputusan ibu. Bahkan, mata sembap tak menjadikan Ibu menunda ujian pertamanya untukku. Disuruhnya aku keluar rumah, membeli beras memakai kerudung pertamaku.

Hati yang berontak tak sejalan dengan ragaku yang terpaksa menuruti perintah Ibu. Aku keluar rumah. Memerah wajahku  karena malu. Usia kelas 4 SD saat itu adalah masa menyenangkan padu padan busana dan model sisiran rambut yang cocok.  Tentunya tanpa kerudung. Memakai kerudung ini bagiku tak ubahnya seperti bibi sayur yang lewat setiap pagi di tempat tinggalku. Norak dan kampungan batinku.

Bibir mencucu serta langkah yang kaku mungkin akan menjadikanku bahan tertawaan. Beruntung, saat itu jalanan kompleks perumahan sedang sepi. Aku melenggang tanpa percaya diri, dengan kerudung pertamaku.

Kejadian itu menjadi mutiara bagiku. Terlebih saat kutahu, anak perempuan yang menutup auratnya menjadi perantara surga bagi ayahnya. Ah, rasanya antara sedih dan tertawa jika teringat tingkahku saat itu.

Merajut kisah bersama ibu mengajariku bahwa belantara kehidupan dengan berbagai ujiannya harus bisa dihadapi dengan tegar dan tetap tenang. Sholat dan sabar adalah penolongnya.  Kehilangan sebelah pandangannya saat berjuang sebulan nonstop merawat ayah sakit, semoga menjadikannya bidadari bermata jeli di surga nanti.

Kini, Ibu masih bersama kami. Dengan enam cucu, sosoknya masih terlihat muda dan enerjik. Terimakasih Ibu, telah menjadi inspirasiku. Kini aku menempati posisi yang sama denganmu. Menjadi ibu dari anak-anakku. Semoga masih terbentang waktuku untuk kelak membahagiakanmu meski sampai kapanpun kasihmu tak kan mampu terbalas.

Serang, 18 November 2019

Pengirim: Ummu Azka, Pendidik tinggal di Serang Banten

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement